Senin, 03 Mei 2021

SUNNAH DAN BID'AH ( Suatu kajian komprehenship fiqih Islam)

 

SUNNAH DAN BID’AH

Assunah.

Menurut bahasa:

 assunnah  berarti jalan dan cara. Syeh Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan assunnah adalah adat /kebiasaan dan  jalan dan cara yang berulang-ulang sering dilakukan orang  dengan segala ragamnya  dan lapisannya, baik yang mereka anggap sebagai ibadah atau bukan.

Menurut syariat :

Assunnah mempunyai beragam definisi menurut para ulama, baik ulama ushul fiqih, ulama fiqih  dan ulama ahli hadist, masing-masing mendefinisikan  sesuai spesikasi dan bidang ilmunya.Dari sekian definisi yang ada  definisi yang lebih mendekati tema yang kita bahas di sini adalah definisi yang dikemukakan Roghib Al Asyfahani  dalam kitab Mufradatul Qur’an ; Sunnah Rasulullah ialah cara atau jalan yang senantiasa  dipelihara Rasulullah  .Yakni cara yang sering beliau pelihara baik dalam bentuk perbuatan maupun persoalan, baik dalam menerima atau menolak sesuatu.

Bid’ah.

Menurut   ethimologi: Arroghib al Ashfahani dalam kitab, Mufrodatul Qur’an, Al Ibda’ (mengada-ngada/membuat bid’ah ) adalah mengadakan atau menciptakan sesuatu hal   tanpa meniru dan contoh terlebih dahulu. Kata ini jika dinisbatkan kepada Allah berarti menciptakan sesuatu tanpa alat dan bahan serta terlepas dari dimensi ruang dan waktu.Dan itu hanya bisa dilakukan oleh Allah semata.Sementara kata “ Badi’” semakna kata “Mubdi’ “ yang berarti menciptakan (tanpa contoh terlebih dahulu).  Allah berfirman                                   :

  بديع السموات والارض

 

Artinya “Dan Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqoroh : 117)

.

Kata “Badi’ “ juga bermakna mubda’(difatkhah dal) yang berarti yang diciptakan. Hal yang sama juga berlaku pada kata  al bad’u (masdar bada’a yabda’u) .Kesemuanya bisa bermakna ismul fail (yang menciptakan)  dan ismul maf’ul (yang diciptakan) .Allah swt. Berfirman :

ما كنت بدعا من الرسل

Artinya :”Katakanlah ,”Aku bukanlah rasul yang pertama diantara para rasul .”(QS. Al Ahqof : 9)

” Kata “ bid’an” dalam struktut ayat ini berarti yang pertama yang tak ada seorang rasul yang mendahuluiku . Bid’an  berarti pula seorang yang mengada-ngada dalam apa yang aku katakan.

            Al Fayumi dalam kamus misbah,berkata “ abda’a Allahul Kholqo ibda’an” berarti Dia menciptakan makhluk  tanpa contoh. “abda’tu syaia wa ibtada’tuhu “ bermakna saya berupaya mengeluarkan dan mengadakannya.

Al Hafidz ibnu Hajar dalam Fatkhul Bari  ketika menjelaskan “syarrul umuri muhdatsatuha”[1] berkata,”

v  Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa contoh terlebih dahulu. Demikian ketika menjelaskan hadist “ Nikmatil bid’atu hadzihi.”[2] (Ini adalah sebaik-baik bid’ah) . Bid’ah pada asalnya berarti suatu yang diada-adakan tanpa contoh lebih dahulu.”

v  Menurut  syara’ , bid’ah adalah menambah atau mengurangi ketentuan-ketentuan dalam urusan agama.Namun sebagian terkadang tidak dihukumi makruh (yang semestinya dijauhi) dan jenis ini dinamai dengan bid’ah mubah.Yaitu  persoalan  bid’ah yang jenisnya memiliki dasar dan dalil dalam syariat atau sangat dibutuhkan untuk kemaslahatan guna menolak mafsadah.

 

Untuk itulah maka para ulama mengklasifikasikan bid’ah menjadi dua varian ;

            Imam Syafi’ i radliyallahu anhu berkata,” Bid’ah itu ada dua macam ; bid’ah mahmudah (bidah terpuji) dan bid’ah madzmumah (bidah tercela).Bid’ah yang sesuai dengan sunnah disebut bid’ah mahmudah(terpuji), dan yang bertentangan dengan sunnah dinamakan bid’ah madzmumah.

            Imam Baihaqi  mengeluarkan (mengutip)  dari Imam Syafi’ I dalam manaqib (biografinya) :” Hal yang diada-adakan (bid’ah) itu ada dua macam .  Hal yang diada-adakan  yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ disebut dengan bidah dlolalah (sesat). Hal baru yang diada-adakan dalam kebaikan yang tidak bertentangan sama sekali dengan tiga sumber ajaran agama tersebut, disebut muhdatsasun ghoiru madzmumah     ( bid’ah yang tidak tercela).

            Hingga beliau (yakni Imam Syafi ‘I  melepaskan predikat bid’ah dari suatu persolan  yang memiliki sandaran dan dasar dalam syariat. Ujar beliau ,”Setiap persoalan yang memilik acuan sandaran dalam syariat  bukanlah bid’ah  meski para  salaf sholeh (generasi pertama umat) tidak melakukannya. Mereka tidak melakukannya  perbuatan itu  mungkin motifnya karena  mereka memiliki halangan saat itu atau  ada  sesuatu yang lebih utama  dari persoalan tersebut  atau   barangkalai pengetahuan persoalan itu belum sampai kepada mereka semua.”

            Imam Nawawi  dalam kitab Tahzibul Asma’ wal Lughoot, saat membicarakan tentang bid’ah  ia berkata ” Bid’ah itu diklasifikasikan menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah qobikhah.”

            Al Hafidz Ibnu Atsir  dalam kitab Nihayah berkata,” Bid’ah itu dua macam; bid’ah  hudan dan bid’ah dzolal. Yang bertentangan dengan ketentuan dan perintah Allah dan RasulNya kategori bid’ah tercela dan mungkar.Dan persoalan yang masuk satu bagian  (juz) dari keumuman  perkara yang dianjurkan Allah dan Rosul-Nya, maka kategori bid’ah yang diperbolehkan dan persoalan  yang tidak memiliki contoh  sejenis prilaku    kemurahan hati dan sifat dermawan dan perbuatan kebajikan maka kategori perbuatan-perbuatan yang terpuji dengan ketentuan persoalan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hal yang dikemukakan syariat.”

            Al Hafidz Ibnu Aroby dalam syarah sunan Tirmidzi  dalam mengomentari  hadist,”Iyyakum wamuhdatsatil umuri. “ [3] (Jauhilah oleh kamu sekalian hal –hal yang diada-adakan )  berkata,”“Ketahuilah  oleh kalian semua – semoga Allah mengajarkan kamu semua- bahwa perkara “muhdats (yang diada-adakan)/bid’ah ada dua macam. Pertama, bid’ah yang tidak memiliki dasar dan hanya berpangkal sepenuhnya pada keinginan nafsu  dan berbuat hanya menuruti kemauan semata. Dan ini sudah tentu merupakan suatu bentuk kebatilan . Itulah yang dimaksud  bid’ah dzalalah. Kedua, jenis muhdats /bid’ah yang dapat dianalogkan  dengan amalan kebaikan/sunnah ( yang sudah ada ketetapannya dalam sumber primer dan skunder agama), jenis ini bid’ah dari produks menganalogkan suatu amalan dengan ketentuan amalan yang ada (yang syariat mengemukakannya  dalam bentuk umum ) . Dan inilah biasa disemati predikat “ sunnatul khulafai Rosyidin dan para imam fudzola’ bukan kategori bid’ah dzolalah.

            Ia juga berkata,”Tidaklah “muhdats” dan “bid’ah”  tercela dari aspek lafadznya dan tidak pula dari aspek maknanya.Karena Allah swt. sendiri berfirman :

   ما يأتيهم  من ذكر  ن ربهم محدث

Tidak datang kepada mereka suatu ayat  Al Qur’an pun yang baru (diturunkan ) dari  Tuhan mereka ”

Umar bin Khotob sendiri berkata,” “ Nikmatil bid’atu hadzihi.” (Ini adalah sebaik-baik bid’ah.)

 Akan tetapi yang tercela dari bid’ah adalah yang bertentangan dengan sunnah dan dari muhdatsah (hal yang diada-adakan) adalah yang menyerukan kepada jalan kesesatan.

             Sebagian ulama ada yang mengklasifikasikan bid’ah hingga 5 macam :

1.      Bid’ah wajib seperti mempelajari Nahwu, sistematika dalil-dalil ulama ilmu kalam yang digunakan sebagai argumentasi bantahan orang-orang mulhid (atheis,tidak percaya tuhan) dan kaum ahli bid’ah.

2.      Bid’ah mandub (sunnah yang dianjurkan) seperti adzan di atas mimbar, menyusun kitab-kitab  ilmu dan buku pengetahuan, membangun madrasah dan sekolah dsb.

3.      Bid’ah mubah, seperti memakai ayakan dan memperluas variasi jenis makanan dan minuman.

4.      Bid’ah makruh, menghiasi mushaf Al Qur’an dan memberi berbagai ornamen masjid.

5.      Bid’ah muharromah (yang diharamkan)  seperti mengada-ngada sesuatu (kreasi) yang bertentangan sunnah dan yang tidak ditunjukkan oleh dalil-dalil umum dari syariat serta tidak mengandung maslahat syar’yyah (maslahat yang sejalan syariat).            

Oleh karena itu, Al Qur’an menegaskan kebolehan  berkreasi suatu yang ada nilai kebaikan dan menambahkan kedekatan diri kepada Allah.Abu Umamah radliyallahu ta’ala berkata: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu berpuasa di bulan Ramadlan dan tidak mewajibkan qiyam (menghidupkan Ramadlon dengan shalat malam, (namun hal itu hanya pada tingkatan tathowwu/sunnah bukan wajib), namun qiyyam Ramadlan  hanya suatu yang kamu ada-adakan lantas rutin kamu lakukan.Sesungguhnya segolongan bani Israil membuat bid’ah (mengada-ada suatu yang baik) dan (semula rutin mereka lakukan) lantas Allah mencela mereka karena meninggalkannya.Allah berfirman :

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَ

Artinya :” Dan mereka mengada-ngadakan rahbaniyyah (system hidup kependetaan ,membujang , tidak menikah) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-ngadakannya ) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.(QS. Al Hadid :27)

Adapun Hadist ,”Kullu bid’atin dholalah “(setiap bid’ah adalah sesat) adalah lafadz “am yang dalam kontek ‘am al Makhsus (‘am yang ditakhsis ) [4]

Imam Nawawi rahimahullah berkata,”Lafadz ‘am[5] dalam Hadist ini merupakan jenis ‘am makhsus .  Maksudnya  adalah hal –hal baru yang diada-adakan yang tidak ada dalil sama sekali  di dalam syariat  yang menunjukkan keafsahannya(menjustifikasi kebolehannya), dan itulah yang dimaksud “bid’ah”.

Sementara Al Hafidz Ibnu Rojab  dalam menjelaskan hadist ini mengatakan,”Yang dimaksud bid’ah adalah segala hal yang diada-adakan yang tidak ada dasar dalil sama sekali di dalam syariat yang menunjukkannya.Adapun perkara yang ada dasar atau dalil dari syariat yang menunjukkannya maka bukan kategori bid’ah menurut syara’ meski termasuk bid’ah menurut bahasa.

Al Hafidz Hajar berkata,” Maksud sabda Rasulullah,” ”Kullu bid’atin dholalah” yaitu segala yang diada-adakan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari syariat baik dalam bentuk khusus maupun dalam bentuk umum. 

Dengan demikian jelaslah keumuman hadist ini tidak bersifat universal –kulliyah tetapi kategori  “Am - makhsus (lafadz ‘am yang ditakhsis) atau ‘am urida bihil Khusus (lafadz ‘am yang dimaksudkan khusus /maksud tertentu).

CONTOH PERSOALAN –PERSOALAN TERSEBUT  DALAM AL QUR’AN DAN HADIST.

Contoh-contoh kasus persoalan sedemikian banyak kita dapati dalam Al Qur’an dan Hadist,  antara lain :

1.    Firman Allah swt. :

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ

Artinya:“Sesungguhnys kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah , adalah umpan(bahan bakar nyala api) neraka Jahanam.” (QS. Al Anbiya’ : 98)

Isim maushul kategori shighot umum(ما ), namun tidak disanksikan  bahwa Nabi Isa AS dan ibunya  serta para  malaikat juga dituhankan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, meski demikian mereka  tidak tergolong orang-orang yang menjadi bahan bakar nyala api neraka seperti yang termuat di dalam ayat tersebut.Maka jelaslah bahwa lafadz ‘am tersebut  jenis  “Al am urida bihi khusus” ( lafadz umum yang dimaksud khusus (bagian tertentu dari lafadz umum) itu.



2.        Firman Allah swt.

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

Artinya :” Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. An Najm :39)

Padahal cukup dimaklumi, di sana banyak dalil yang menegaskan bahwa seorang muslim bisa mengambil manfaat  amal orang lain dari saudara sesama muslim dan do’a para malaikat sebagaimana yang dikemukakan Syekh Ibnu Taimiyah .Ia menuturkan lebih dari dua puluh tempat persoalan.Pertama shalat jenazah,sedekah untuk orang yang mati kemudian doa kaum beriman. [6]

3.      Firman Allah swt.

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ

Artinya :”(Yaitu ) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan,”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu.”(QS. Ali Imron :173).

Yang dimaksud  lafadz “Nas” pertama adalah orang-orang yang memberi kabar berita yang tidak diragukan jumlah mereka terbatas.Sedangkan lafadz “Nas” yang kedua adalah Abu Sofyan dan orang-orang musyrik golongannya  yang berperang melawan kaum muslimin di  Uhud.

4.      Firman Allah swt.

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ

Artinya :”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka.”(QS. Al An’am : 44).

 

Meski lafadz “kullu syain “ lafadz ‘am  namun tak berarti pintu-pintu rahmat juga terbuka buat mereka.

5.      Firman Allah swt.


وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Artinya :”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”(QS. Ali Imron :159)

 

Cukup dimaklumi  bahwa Rasulullah tidak diperintah bermusyawarah dengan mereka dalam  pembuatan  ketentuan syariat dan hukum (tasyri’ dan ahkam). Ibnu Umar  RA menafsiri ayat “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan “ yakni dalam sebagian urusan.

6.      Firman Allah swt.

لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

Agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. Taha : 16)

 

 

            Adapun contoh kasus persoalan dari hadist seperti :

1.      Sabda Nabi saw. :

لن يلج النار أحد صلى قبل طلوع الشمس  وقبل غروبها

Tidak akan masuk neraka orang yang menjalankan shalat (shalat subuh) sebelum terbitnya matahari dan sebelum terbenamnya (shalat asyar).

 

Lafadz hadist ini menggunakan shighot Umum  namun tentu  tidak menunjukkan keumumannya.Orang yang shalat di dua waktu tersebut  dan meninggalkan shalat fardlu selebihnya tidak masuk  dalam keumuman hadist tersebut .Lafadz umum hadist ini kategori al ‘am urida bihi khusus (umum yang dimaksudkan khusus (makna khusus) atau kategori al am al Mahshush bin nusyush. (lafadz yang yang ditahsiskan  maknanya dengan dalil-dalil nasy).

2.      Sabda Rasulullah :

الحبة السوداء شفاء  من كل داء  إلا السام

"Dalam habbatus sauda' (jinten hitam) terdapat obat dari segala penyakit kecuali kematian." (HR. Bukhori )

Para pensyarah hadist bersepakat  bahwa hadist tersebut  tidak menunjukkan keumumannya meskipun  hadist tersebut memuat kulliyatul (universal)  kull (shighot umum).

 

Demikian pula hadist “ Kullu bid’atin dholalah” ini keberadaannya   ditakhis dengan hadist yang diriwayatkan sayidatina ‘Aisyah  ra dari Rasulullah bersabda :

من احدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد )اخرجه البخارى)

 Artinya :” Barang siapa mengada-ngada dalam urusanku (agama) ini yang tidak termasuk darinya maka akan ditolak.”(HR. Bukhori).

 

Ibnu Rojab berkata,”Hadist ini manthuqnya (makna tersuratnya) menunjukkan bahwa setiap  amal perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan pembuat syariat (Rasulullah) maka amalan itu tertolak.Sedangkan mafhum (makna tersiratnya) menunjukkan bahwa setiap amal yang sejalan dengan ketentuannya maka amalan itu tidak ditolak.

Al Hafidz Ibnu Hajar  berkata,” Hadist ini kategori pokok-pokok dasar dan kaidah-kaidah agama Islam. Makna hadist tersebut, barang siapa menciptakan kreasi dalam agama yang tidak memiliki dalil dari dalil –dalinya maka tidak layak mendapatkan perhatian.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah  bagi kita bahwa setiap perkara yang ditinggalkan Nabi atau tidak beliau lakukan tidak lantas berarti bahwa sesuatu tersebut tidak boleh dilakukan.Karena adanya kaidah ushuliyah yang  popular dikalangan ulama.” Sesuatu ditinggalkan ( tidak dilakukan)  tidak menunjukkan haramnya sesuatu tersebut.” Kami maksudkan “ditinggalakan” yakni sesuatu tersebut   ditinggalkan Rasulullah dan beliau tidak melakukannya atau ditinggalkan salafu sholeh padahal tidak ada satu hadist ataupun atsar (ujaran para salaf) yang melarang hal tersebut (yang ditinggalkan) yang menunjukkan keharamannya dan kemakruhannya.

 

Ø  JENIS PERKARA YANG DITINGGALKAN

 

Perkara yang ditinggalkan itu bermacam-macam, antara lain:

 

A.    Suatu perkara ditinggalkan karena menjadi kebiasaan Nabi.

Seperti Rasulullah tidak memakan daging dhob (biawak)  dalam hadist sayidina Kholid, bahwa dia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah Maimunah, lalu dihidangkan daging biawak panggang , ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak mengambil daging tersebut sebagian wanita berkata: "Beritahukanlah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang makanan yang hendak beliau makan." Orang-orang pun berkata: "Wahai Rasulullah, itu adalah daging biawak, " Lalu beliau menarik tangannya urung mengambilnya, aku pun berkata: "Apakah daging itu haram wahai Rasulullah?" beliau bersabda: "Tidak, karena daging tersebut tidak ada pada kaumku, maka aku tidak menyukainya." Khalid berkata: "Lalu aku meraih daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihatku.(HR. Bukhori).

 

Hadist ini menunjukkan dua hal :

1.      Sesuatu yang Rasulullah tinggalkan ( urung tidak melakukannya) meski semula berhasrat melakukan tidak berarti sesuatu itu diharamkan atau dilarang.

2.      Sesuatu yang dianggap jijik, kotor  ataupun jengah bagi beliau lakukan tidak berarti hal tersebut diharamkan atau dilarang.

                       

B.     Suatu yang ditinggalkan Rasulullah atau tidak beliau lakukan karena lupa .

Contoh suatu kali Rasulullah shalat lalu ia meninggalkan sebagian rukun dari shalat. Setelah salam, beliau pun ditanya: "Wahai Rasulullah, telah terjadi sesuatu dalam shalat!" Beliau bersabda ,”…….Akan tetapi aku ini hanyalah manusia seperti kalian yang bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa, maka jika aku terlupa ingatkanlah. “(HR. Bukhori).

 

C.     Suatu perkara ditinggalkan oleh beliau karena khawatir hal tersebut berstatus menjadi perkara yang difardlukan.Seperti shalat tarawih.

 

D.    Suatu perkara ditinggalkan dan tidak dilakukan Rosulullah karena perkara tersebut tidak terpikirkan dan tidak terdetik di hati beliau. (di luar persoalan agama) . Contoh pengadaan dan  pembuatan mimbar beliau sendiri.

E.     Suatu perkara ditinggalkan nabi  lantaran sudah termuat dalam  keumuman  ayat –ayat Al Qur’an dan hadist-hadist beliau yang lain. Seperti sejumlah amal perbuatan kebajikan yang dianjurakan (sunnah) lantaran sudah termasuk  dalam keumuman firman Allah :

وافعلوا الخير لعلكم  تفلحون

Artinya : Lakukanlah kebajian  semoga kamu mendapat keberuntunan.” (QS. Al Hajj :77)

Dan lain sebagiannya.

F.      Suatu perkara ditinggalkan beliau karena khawatir berubahnya hati para sahabat.

Contoh Rasulullah saw. Bersabda :"Kalaulah bukan karena kaummu yang baru saja keluar dari masa jahiliyyah  niscaya kuperintahkan mereka, membangun kembali Ka’bah  (mengembalikan bangunan ka’bah ke tepat pondasi semula yang dibangun Nabi Ibrahim, lantaran kaum  Quraish membangun ka’bah karena banjir bergeser dari pondasi tersebut.Pent.) dan memasukkan tempat  yang dikeluarkan dari bagian  ka’bah kembali ke bagian  ka’bah dan menempatkan posisi semula (di masa nabi Ibrahim)  Dan aku akan buat baittullah itu dua pintu ; timur dan barat hingga bisa mencapai pondasi Ibrahim AS.

Suatu perkara ditinggalkan (oleh Nabi) yang semata-mata ditinggalkan , bila tidak diiringi nasy yang menunjukkan bahwa perbuatan beliau meninggalkanya itu mengisyaratkan hal itu dilarang maka tidak menjadi hujjah atas larangan hal tersebut.Sebaliknya hanya yang tujuan suatu itu ditinggalkan  mengindikasikan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut  disyariatkan.

KAIDAH USHUL DAN DALIL-DALINYA :

       I.            Indikator  pengharaman itu ada tiga :

a.       Bentuk lafadz larangan (fiil nahyi)  seperti :

ولا تقربوا الزنا ( الاسراء : 32)

Artinya :” Dan janganlah kamu mendekati zina (QS. Al Isra’ :32)

 

ولا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل  (البقرة : )

Artinya :”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil.”(QS. Al Baqoroh :188)

b.      Dengan kata-kata tahrim (pengharaman ) secara langsung. Seperti 

حرمت عليكم الميتة( المائدة : 3)

Artinya :”Diharamkan kamu (memakan) bangkai.(QS.Al Maidah :3)

 

c.       Perbuatan itu dicela  dan diancam dengan adzab . Seperti sabda Rasulullah :

من غشانا فليس منا ( أخرجه مسلم )

 

Artinya : “Barangsiapa menipu kami maka tidak tergolong dari kami.” (HR. Muslim)

 

Tindakan syari ( Rasulullah selaku legislator/pembuat aturan syariat ) meninggalkan  atau  tidak dilakukan sesuatu olehnya, tidak masuk dari salah satu tiga tersebut, maka dengan demikian tidak menunjukkan diharamkan suatu hal tersebut (yang ditinggalkan).

    II.            Firman Allah swt. :

ما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا (سورة الخشر :7)

Artinya :” Apa yang diberika Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”  (QS. Al Hasyr ;7).

 III.            Sabda Rasulullah :

ما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه (اخرجه البخارى )

Artinya :” Apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah. (HR. Bukhori).

  IV.            Para Ulama Ushul Fiqih  mendefinisikan “Sunnah ‘ sebagai  sabda, perbuatan dan taqriri (persetujuan ) Rasulullah . Mereka tidak mengatakan … dan apa yang ditinggalkan Nabi karena hal sedemikian bukan dalil (hujjah hukum ).

     V.            Telah dijelaskan gamblang sebelumnya bahwa tindakan “meninggalkan “ mengandung beberapa asumsi kemungkinan dan tidak  mengindikasikan hal tersebut diharamkan.Dalam sedemikian ada adagium  kaidah ushuliyah :

ما دخله الاحتمال سقط عنه الاستدلال

“Suatu  yang mengandung kemungkinan (berbagai kemungkinan ) tidak bisa dikonstitusikan sebagai dalil hukum atau hujjah .”

 VI.            “Tindakan meninggalkan “  merupakan asal (dasarnya) . Karena ia berarti tidak melakukan suatu perbuatan. Tidak adanya (tindakan melakukan suatu perbuatan)  merupakan asal (pangkalnya)  sementara “melakukan”  hal yang bersifat “eksidentiil” ( kejadian yang baru). Asal - dalam hal ini- tidak menunjukkan sesuatu apapun  baik secara lughowi maupu syar’i.Maka konklosi akhirnya bahwa  “tindakan meninggalkan atau tidak melakukan” tidak memberi indikasi makna “ pengharaman.”[7]

Realitas yang cukup dimaklumi bahwa nabi saw. tidak  melakukan kesemua  hal mandubat-mubahat (persoalan-persoalan baik  yang semestinya  dilakukan lagi dianjurkan) dan dimubahkan) -yang tak tersisa ia tinggalkan-.  Karena jumlah hal yang  dikategorikan sebagai  “mandubat-mubahat” itu banyak tak terhitung ,yang tidak seorang manusia mampu meliputi kesemuanya (dan melakukan kesemuanya). Dan karena Rasulullah lebih aktif sibuk persoalan yang lebih urgent /penting seperti  menyampaikan da’wah, memerangi orang-orang musyrik ,beradu-agumentasi dan berdialog  dengan para ahli kitab dan orang-orang kafir dan persoalan penting lain guna mendirikan “daulah Islamiyah”, yang kesemuanya banyak menyita sebagian besar waktu beliau.

Bahkan ia pernah kedapatan meninggalkan sebagian perkata “mandubat /sunnah” dengan sengaja ia lakukan karena khawatir hal itu akan difardlukan atas umatnya atau memberatkan mereka, bila sekiranya beliau melakukan.Sayidatina ‘Aisyah mengekspos persoalan tersebut kepada kita.Ia berkata :”Bahwa Rasulullah tidak jarang meninggalkan suatu amalan, padahal amalan itu suatu amalan yang paling ia sukai. Karena beliau kawatir hal itu menjadi sunnah (kebiasaan rutin) manusia lalu diwajibkan atas mereka.Beliau  suka memberi keringanan atas mereka.(tidak memberatkan mereka).[8]

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari sisiku dengan nampak penuh suka cita, kemudian kembali kepadaku dalam kondisi sedih. Beliau bersabda: “Aku masuk ke dalam baitullah (Ka'bah), dan aku berkeinginan sekali untuk tidak melakukannya, aku khawatir jika aku membuat melelahkan (memberatkan ) umatku setelah kepergianku.

Sementara dalam riwayat lain, sekiranya aku telah mengetahui (mendapatkan petunjuk) apa yang aku lakukan sekarang, maka aku tidak akan memasukinya, sebab aku khawatir akan menyusahkan umatku.”  "[9]

A’isyah juga berkata dalam mengisahkan  shalatnya Rasulullah setelah shalat Asyar,”Beliau tidak melakukan shalat  itu di masjid, kawatir  akan memberatkan umatnya, karena beliau menyukai suatu yang meringankan atas mereka.”

Pada bab “Yassiru wala tu’assiru” , dalam kitab shohih Bukhori, Imam Bukhori berkomentari,” Rasulullah suka memberi keringanan umat manusia dan memberi  kemudahan atas mereka.”

Pengertian sedemikian ini terdapat  di banyak tempat /tema persoalan  semisal pada bab bersiwak dan  bab mengakhirkan shalat Isya’ hingga sepertiga malam (pertama). Rasulullah bersabda,”Kalau sekiranya tidak memberatkan atas umatku niscaya……………”

 

            Sesungguhnya  Rasulullah saw. sendiri bersabda , menjelaskan problematika sedemikian ini :

ما احل الله فى كتابه  فهو حلال ،وما حرم الله فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو ، فاقبلوا  من الله  عافيته ،                  فإن الله  لم يكن لينسى شيئا  ثم تلا  " وما  كان ربك نسيا

Artinya : "Sesuatu yang Allah halalkan di dalam kitab-Nya adalah halal dan sesuatu yang Dia haramkan adalah haram, dan sesuatu yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah sesuatu yang dimaafkan olehNya, karena Allah tidak akan lupa, kemudian beliau membaca ayat ini, "Dan tidaklah Tuhanmu lupa."     (Qs. Maryam 19: 64))(HR. Daruquthni)

 

Beliau juga berkata,”Apabila aku perintahkan kepada kamu sekalian suatu perkara maka lakukanlah  semampu kalian dan apabila aku melarang kamu sekalian sesuatu maka jauhilah .” Beliau tidak mengatakan  “apabila aku tinggalkan sesuatu (tidak melakukannya) maka jauhilah.”

Demikian bila salafusholih (generasi pendahulu , yakni sahabat, tabi’in dan tabiit tabiin.) meninggalkan sesuatu – yakni sesuatu tsb tidak mereka lakukan- tidak berarti sesuatu itu dilarang. Imam Syafi’I berkata,”Setiap suatu perkara yang memiliki sandaran (refensi acuan,spirit) dari syariat  maka bukan katagori “bid’ah” meski salafus sholih tidak melakukannya. Karena bisa jadi mereka tidak melakukannya karena ada halangan /udzhur  saat itu atau karena ada suatu persoalan yang lebih utama dilakukan atau barangkali persoalan tersebut belum sampai kepada mereka. (yakni kasus persoalan itu belum terjadi).

Dengan demikian jelaslah bahwa setiap apa yang tidak dilakukan Rasulullah saw.  tidak bisa dianggap keluar dari koridor “sunnah” sebaliknya segala motivasi ucapan (saran) untuk melakukan kebajikan dan dorongan pada keutamaan yang bersifat umum maupun khusus (spisifik) maka juga termasuk prilaku “sunnah.”

Demikian pula berbagai persetujuan Rasulullah saw. pada suatu kebaikan yang diada-adakan (kreatifikasi kebajikan) yang tidak bertentangan dengan suatu yang disyariatkan juga kategori “Sunnah” bahkan juga merupakan jalan Rasulullah saw dan sunnahnya  yang beliau anjurkan untuk diikuti dan dipengangi.

Dari sini banyak dari kalangan sahabat melakukan berbagai hal menurut ijtihad mereka.Lantaran sunnah Rasulullah dan jalannya menerima ibadah dan kebajikan  yang sejalan dengan suatu yang disyariatkan  dan tidak bertentangan.Ini adalah sunnah beliau dan jalan beliau  yang dijalani oleh para kholifah-kholifah beliau (sepeninggalnya) dan kalangan para sahabat . 

Dari situ para ulama menyatakan  suatu adagium ,”Sesungguhnya hal baru yang diada-adakan (muhdatsat) mesti diacukan pada kaidah-kaidah syariat dan nasy-nasynya.Bila syariat menilai hal tersebut “baik” (sejalan spiritnya atau ada dalil umum yang menunjukkannya) maka hal tersebut suatu hal “yang baik dan diterima” Dan apa yang dihukumi syariat bertentangan denganya dan buruk  maka perkara tersebut ditolak  dan itulah “bid’ah madzmumah “ . Jenis pertama terkadang mereka menamainya dengan predikat” bid’ah hasanah” Karena  dari aspek bahasa  dinilai ‘bid’ah”  jika tidak  maka dalam realitiasnya  bukan kategori bid’ah syari’iyyah  sebaliknya merupakan “sunnah konklosif” (sunnah mustambatah)  sepanjang dalil-dalil syariat  menganggap amalan bisa diterima.”

Rasulullah saw. sendiri memberi predikat sedemikian, saat beliau bersabda :

من سن فى الاسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ ومن سن فى الاسلام سنة سيئة  كا ن عليه  وزر ها ووزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أورارهم شيئ           (أخرجه مسلم )

Artinya :” Barang siapa dalam Islam membuat sunnah (mengada-ada kebiasaan ) baik  maka baginya pahalanya dan pahala orang yang melakukkanya sepeninggalnya tanpa mengurangi pahala mereka  sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-ada kebiasaan buruk maka ia akan memikul beban dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sepeninggalnya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim).

Hadist ini memuat makna yang mentakhsiskan sabda Rasulullah saw.

كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلا لة

Artinya :”Setiap hal baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Yang dimaksud dengan “ al Muhdatsat”  dalam hadist tersebut adalah  jenis mukhdatsat bathilah dan jenis bid’ah madzmumah (tercela) .(bukan mukhdatsat yang termuat dalam hadist sebelumnya yang diidentikan “sunnah hasanah”).

                   Kata  "sanna  sunnatan atau istannaha “  berarti  mengadakan atau menciptakan sunnah (cara /kebiasaan yang baik)  dengan cara ijtihad dan istimbat dari kaidah-kaidah syariat  atau dari keumuman nasy-nasynya.Dengan demikian arti hadist tersebut,” Barang siapa yang menciptakan sunnah yang baik  yang  saat mengadakannya bersandar pada dalil-dalil syariat  maka ia mendapat pahalanya dan orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.Dan barang siapa menciptakan sunnah (kebiasaan) yang buruk yang saat mengada-ngadakannya didasarkan pada suatu yang diingkari  syariat  maka ia akan memikul beban dosa dan dosa-dosa orang yang melakukannya sepeninggalnya. [10])

            Kami sebutkan di sini beberapa gambaran dan contoh perbuatan  para sahabat di masa hidup nabi dan beberapa perbuatan yang mereka lakukan yang mereka belum pernah melihat Rasulullah melakukan atau menyabdakannya namun  beliau sendiri menyetujuinya.

1.    Diriwayatkan dari Abdurrohman bin Abi Laily , ia berkata,”

كان الناس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم  إذا جاء الرجل وقد فاته  شيئ  من الصلاة  أشار إليه  الناس  فصلى ما فاته  ثم دخل  فى الصلاة  ثم جاء يوما معاذ بن جبل فأشاروا إليه  فدخل ولم ينتظر ما قالوا  فلما صلى  النبى صلى الله عليه وسلم  ذكروا له ذلك ، فقال لهم النبى  "سن لكم  معاذ "

Artinya :”Dimasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dulu bila ada seseorang datang dan telah tertinggal sebagaian shalat, maka para jama’ah shalat yang lain memberi isyarat kepadanya   jumlah rakaat yang tertinggal, setelah itu yang bersangkutan mulai mengganti rakaat yang tertinggal, kemudian  bergabung bersama jamaah dalam shalat mereka. Setelah itu datanglah Mu'adz bin Jabal pada suatu hari (menjadi makmum masbuq) ,maka orang-orang  memberi isyarat kepadanya, namun ia langsung bergabung dalam shalat mereka[11]  tanpa menunggu apa yang mereka katakan.Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam usai shalat, merekapun memberitahukan apa yang dilakukan Mu’adz bin Jabal itu kepada beliau. Beliaupun bersabda ;” Mu’adz telah membuat sunnah (kebiasaan baru dan baik ) untuk kalian (HR. Tabrani ).

                      

Dalam riwayat lain tentang Muadz bin Jabal tsb , Rasulullah saw . bersabda :”Ia telah membuat sunnah untuk kalian,maka lakukalah sedemikian .”[12]

 

2.    Diriwayatkan dari Ash bin Wail  ra berkata,”Bakrun bin Wail datang ke Makkah , kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Abu Bakar ,” Datangi temui mereka lalu tawarilah mereka masuk Islam .Lalu iapun mendatangi mereka   menawari masuk Islam. Mereka berkata,” Mereka berkata,” Tunggulah hingga tetua kami datang.Khollad berkata,orang terpandang .Al Mutsannah bin Khorijah berkata,”Tatkala tetua mereka datang kepada mereka, Abu Bakar  bertanya,” Siapa mereka itu ?”. “Mereka adalah Banu Dahl bin Syaiban “ jawab mereka.  Lalu Abu Bakar menawari mereka masuk Islam.   Mereka berkata, “Sesungguhnya antara kami dan orang-orang Persia lagi terjadi perang . Bila perang antara  kami dan mereka telah usai dan berakhir, kami  akan kembali memberi keputusan.” Lalu Abu Bakar  menimpali,” Apakah jika kalian menang dan dapat mengalahkan mereka apa kalian mengikuti agama kami ?” Jawab mereka ,”Kami tidak mensyaratkan itu padamu ,namun hanya jika perang usai antar kami dan mereka kami akan kembali  dan mempertimbangkannya (akan memberi keputusan)  tentang tawaranmu itu ? Maka tatkala mereka berhadapan dengan prajurit Persia pada hari perang dzi Qor. Tetua mereka berkata,” Siapa nama orang yang mengajak kamu sekalian ke agama Allah  itu  ?”   jawab mereka ,” Muhammad”  ia pun berujar,” Dia adalah symbol kemenangan kalian.” Tak lama kemudian mereka pun mendapat kemenangan dan dapat mengalahkan prajurit Persia. Ujar Rasulullah saw.,” Mereka memperoleh kemenangan karena diriku.”

Hadist ini menyebutkan ternyata seorang diantara mereka ada yang bertawasul dengan nama Rasulullah saw. Beliau menyetujui dan menguatkan perkataan mereka dengan sabda beliau,” Karenaku mereka memperoleh kemenangan.” Dan itu tulus dari keyakinan mereka yang penuh bahwa bila Rasulullah saw. atau dia sendiri bila berdoa memohon kemenangan , maka Allah tidak akan sekali-kali menghinakannya  karena ia meminta hal itu  untuk menyebarkan  agama Allah dan meninggikan kalimatnya.”

3.    Diriwayatkan  dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Bilal radliyallahu 'anhu ketika shalat Fajar (Shubuh): "Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amal yang paling utama yang sudah kamu amalkan dalam Islam, sebab aku mendengar di hadapanku suara sandalmu dalam surga." Bilal berkata: "Tidak ada amal yang utama yang aku sudah amalkan kecuali bahwa jika aku bersuci (berwudlu') pada suatu kesempatan malam ataupun siang melainkan aku selalu shalat dengan wudlu' tersebut disamping shalat wajib."[13]

Dalam riwayat lain,Rasulullah saw.  bersabda  kepada Bilal : "Hai Bilal, dengan apa kau mendahuluiku ke Surga ?" Maka Bilal  berkata: "Wahai Rasulullah, tidaklah aku mengumandangkan  adzan melainkan setelah itu aku menunaikan shalat (sunnah) dua raka'at, dan tidaklah aku berhadats melainkan aku lekas bersuci karenanya, dan saya berpendapat bahwa Allah menetapkan dua raka'at atasku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dengan kedua amalan itulah (kiranya kamu memperoleh derajat sedemikian surga)."[14]

Al Hafidz Ibnu Hajar  dalam kitab Fakthul Bari berkata (mengomentari hadist tersebut ),” Dapat difahami dari hadist   tersebut bahwa bolehnya  berijtihad menentukan  waktu ibadah (sunnah tertentu ) secara rutin (diluar amalan fardlu)  karena Bilal mendapatkan derajad sebagaima yang dituturkan hadist tersebut  lewat istimbat /ijtihad  dan Rasulullahpun membenarkannya.

4.    Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudry  berkata,” Pada suatu hari Mu'awiyah keluar melewati sebuah halaqah (majlis) di masjid. Kemudian ia bertanya: Apa gerangan yang membuat kalian duduk membuat halaqah ini ?' Mereka menjawab: 'Kami duduk di sini untuk berzikir kepada Allah Azza wa Jalla.' Mu'awiyah bertanya lagi: 'Demi Allah, benarkah kalian duduk-duduk di sini hanya untuk itu?' Mereka menjawab: 'Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu.' Kata Mu'awiyah selanjutnya: 'Sungguh saya tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian. Karena tidak ada orang yang menerima hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih sedikit daripada saya.' Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati halaqah para sahabatnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: 'Majelis apa ini?' Mereka menjawab: 'Kami duduk untuk berzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan anugerah-Nya kepada kami.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Demi Allah, apakah kalian duduk di sini hanya untuk ini?' Mereka menjawab: 'Demi Allah, kami duduk-duduk di sini hanya untuk ini.' Kata Rasulullah selanjutnya: 'Sungguh aku menyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai kalian. Tetapi karena aku pernah didatangi Jibril alaihis salam. Kemudian ia memberitahukan kepadaku bahwasanya Allah Azza wa Jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat.'[15]

5.    Diriwayatkan dari Sayidina Abu Hurairah ra.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar, dan beliau melihat orang-orang tengah mengerjakan shalat di pojok-pojok masjid, beliau bersabda: "Apa yang sedang di perbuat oleh mereka?" maka di jawab: "Mereka orang-orang yang tidak hafal Al Qur'an, dan Ubay bin Ka'b sedang mengerjakan shalat maka mereka shalat mengikuti shalatnya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Mereka benar atau beliau mengatakan,” Alangkah baiknya amal perbuatan mereka."(Hadist riwayat Ibnu Atsir )

6.    Diriwayatkan dari Sayidina Kholid bin Walid ra . berkata,” Kami pernah melakukan umrah  bersama Rasulullah dalam suatu umrah yang beliau lakukan.Beliau mencukur rambutnya , lalu orang-orang berebut untuk mendapatkan rambutnya .Aku merebutkan helai rambut dari ubun-ubun beliau  dan akhirnya mendapatkannya.Lalu aku ambil peci dan ku taruhkan helai rambut itu di bagian depan peci .Maka mulai saat itu tidak lah  aku bawa ke tempat  dimana berada melainkan aku mendapat kemenangan.

7.    Diriwayatkan dari Sayidina Anas ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang di cukur tukang cukur untuk menggundul rambut beliau, sedang para sahabat mengelilingi beliau, mereka tidak ingin rambut beliau jatuh kecuali dalam genggaman tangan salah seorang dari mereka."(HR. Muslim).

 

8.    Diriwayatakan dari Sayidina Anas bin Malik dia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Lalu beliau tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim, ketika ia sedang tidak berada di rumah. Anas berkata: 'Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke rumah kami dan tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim disuruh pulang dan diberitahu bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur di atas tempat tidurnya. Anas berkata: 'Ketika Ummu Sulaim tiba di rumah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkeringat, dan keringat beliau tergenang di tikar kulit di atas tempat tidur.' Maka Ummu Sulaim segera membuka tasnya dan segera menyeka keringat Rasulullah dengan sapu tangan dan memerasnya ke dalam botol-botol yang ia miliki. Tiba-tiba Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terbangun dan terkejut seraya berkata: 'Apa yang kamu lakukan hai Ummu Sulaim? Ummu Sulaim menjawab: 'Ya Rasulullah, kami mengharapkan keberkahan keringat engkau untuk anak-anak kami. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kamu benar hai Ummu Sulaim.”

9.    Diriwayatkan dari Yazid bin Aswad dalam hadist haji Wada’  ia berkata,” Tatakala Rasulullah usai melakukan  shalat subuh  beliau memalingkan muka atau duduk menghadap jama'ah. Lalu Yazid bin Aswad menuturkan kisah dua orang yang belum shalat.Lanjutnya,”  "Kemudian orang-orang mengerumuni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan saya turut ikut bersama mereka. ketika itu saya adalah orang yang paling muda dan paling perkasa di antara mereka" Yazid berkata: "Saya terus berebut dan berdesak-desakan dengan manusia hingga saya sampai di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu saya meraih tangan beliau dan saya letakkan tangannya di atas wajahku, atau di atas dadaku." Yazid melanjutkan ceritanya, "Sungguh, saya belum pernah mendapati sesuatu yang lebih harum, dan tidak pula lebih sejuk daripada tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Waktu itu beliau berada di masjid Al Khaif."

Dalam riwayat lain  dengan redaksi ,” ." Kemudian orang-orang berebut memegang tangan beliau dan mengusapkannya ke wajah mereka." (HR. Imam Ahmad)

 

10.    Diriwayatkan dari Sayidina Abu Juhaifah dia berkata: saya menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau tengah berada di tenda besar yang terbuat dari kulit, dan saya melihat Bilal tengah mengambilkan tempat air wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sementara orang-orang berebut untuk mendapatkan bekas wudlu beliau, dan siapa yang mendapatkannya maka ia akan membasuhkannya namun bagi yang tidak mendapatkannya, maka ia mengambil dari sisa air yang menetes dari temannya."(HR. Bukhori)

Dalam riwayat lain dengan redaksi  "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Bathha, lalu Bilal datang  mengeluarkan air sisa wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang-orang berebutan dan aku mendapatkannya sedikit.”(HR. An Nasa’i)

11.    Diriwayatkan dari Sayidina Anas bin Malik dia berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai melaksanakan shalat Shubuh, maka para pelayan Madinah melayani beliau dengan membawa bejana berisi air. Beliau mencelupkan jari tangannya ke dalam setiap bejana yang disodorkan kepada beliau. Terkadang para pelayan tersebut mendatangi beliau di pagi yang amat dingin, tetapi beliau tetap sudi mencelupkan tangan beliau ke dalam bejana yang berisi air tersebut."(HR. Muslim).

12.    Diriwayatkan dari Ummi Tsabit Kabsyah binti tsabit , saudara perempuan Hisan bin Tsabit ra.  berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku dan minum dari mulut bejana yang tergantung sambil berdiri lalu aku mengambilnya dan memotong mulut bejana tersebut." (HR. Tirmidzi).

13.    Diriwayatkan dari Sayidina Ibnu Abbas berkata: aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada akhir malam, lalu aku shalat di belakang beliau, kemudian beliau meraih tanganku hingga menempatkanku sejajar dengan beliau. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali pada shalatnya, aku mundur, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan shalatnya. Selesai shalat beliau bertanya kepadaku: "Aku telah menempatkanmu sejajar denganku, namun mengapa engkau mundur? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang shalat sejajar dengan engkau, padahal engkau adalah Rasulullah yang telah Allah anugerahkan kepadamu? Rupanya Beliau kagum kepadaku karena ucapanku, lalu beliau berdoa untukku agar Allah menambahkan ilmu dan pemahaman kepadaku.(HR. Imam Ahmad)

 

14.    Diriwayatkan dari Sayidina Abu Sa'id Al Khudri dia berkata:Ada dua orang mengadakan perjalanan jauh, lalu waktu shalat tiba sementara mereka tidak mempunyai air, maka keduanya bertayamum dengan menggunakan tanah yang bersih dan keduanya shalat, kemudian keduanya mendapatkan air dalam masa waktu shalat tersebut, maka salah seorang dari keduanya mengulangi shalat dengan berwudlu dan yang lainnya tidak, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan mengisahkan perjalanan mereka, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada yang tidak mengulang shalat: "Kamu telah melaksanakan sunnah dan shalat kamu sempurna (tidak perlu diulang)." Dan beliau bersabda kepada yang berwudlu dan mengulangi shalat: "Kamu mendapatkan pahala dua kali."(HR. Nasa’i)

15. Diriwayatkan dari Sayidina Ali radliyallahu 'anhu, dia berkata:Abu Bakar radliyallahu 'anhu apabila membaca Al Qur'an dia membacanya dengan melembutkan suaranya, Umar radliyallahu 'anhu membaca dengan mengeraskan suaranya, sedangkan Ammar Radliyallahu 'anhu membaca Al Qur`an dengan mengambil dari surat ini dan dari surat itu. Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepada Abu Bakar: "Kenapa kamu membaca dengan pelan? Dia menjawab: "Aku memperdengarkan kepada Dzat yang bermunajat kepadaNya." Beliau bertanya kepada Umar: "Kenapa kamu mengeraskan bacaanmu?" Dia menjawab: "Saya ingin mengusir setan dan membangunkan orang yang mengantuk." Beliau juga bertanya kepada Ammar: "Kenapa kamu mengambil dari surat ini dan dari surat itu?" Dia menjawab: "Apakah anda mendengarku mencampuradukkan sesuatu yang bukan darinya?" Beliau menjawab: "Tidak." Beliau bersabda: "Semuanya baik."(HR. Imam Ahmad ).

16. Diriwayatkan dari  SayidinaAmr bin Al Ash, tatkala dikirim  ke medan perang Dzatus Salasil, dia berkata, "Aku pernah bermimpi basah pada malam yang dingin dan aku merasa khawatir kalau mandi aku akan meninggal. Aku pun bertayamum, lalu shalat Subuh mengimami teman-temanku. Tatkala kami datang menemui Rasulullah saw. mereka  memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi pun bertanya, ‘Wahai Amr, apakah kamu shalat mengimami teman- temanmu dalam keadaan junub ?' Aku lalu memberitahu beliau tentang alasan yang menghalangiku, sehingga tidak mandi. Aku berkata, ‘ Sesungguhnya aku mendengar bahwa Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ( Q.S. An-Nisa : 29) .Nabi lalu tertawa dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.”

17. Dan kisah  Hubaib  ia adalah orang pertama yang mencontohkan sholat dua roka'at bagi setiap muslim yang akan dibunuh sebagai wujud kesabaran.(HR.Imam Bukhori).

18. Diriwayatkan dari Sayidina 'Aisyah ra, ia berkata: "Tatkala delegasi Habasyah datang menemui Rasulullah saw.mereka bermain perang-perangan di masjid. Azzuhri berkata,”Dan Said bin Musyyab telah mengkhabarkanku bahwa Abu Hurairah telah berkata,” Umar masuk  saat budak-budak Habsi itu bermain-main di masjid lalu ia menghardiknya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Biarkanlah mereka wahai Umar , karena sesungguhnya mereka itu  adalah keturunan Arfidah.” (HR. Imam Bukhori ).

       Dalam riwayat lain  dengan ada penambahan redaksi ,”Agar orang-orang Yahudi tahu  bahwa dalam agama kita terdapat kelonggaran (relaksasi).” (HR. Imam Ahmad ).

19. Diriwayatkan dari Sa'id bin Al Musayyab dari Bilal bahwa ia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk adzan shalat subuh, lalu dikatakan kepadanya: "Beliau sedang tidur." Maka bilal pun berkata: "ASH SHALAATU KHAIRUN MINAN NAUM. ASH SHALAATU KHAIRUN MINAN NAUM (Shalat itu lebih baik daripada tidur. Shalat itu lebih baik daripada tidur)." Hingga lafadz itu ditetapkan untuk dikumandangkan pada adzan subuh dan perkaranya menjadi tetap seperti itu." (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang para rijal (para perawinya) tsiqoh (terpercaya ) semua)

            Dalam riwayat lain , Lalu Rasulullah bersabda :” Betapa bagusnya lafazdmu ini , masukkan  lafazdmu ini dalam adzanmu.” (HR. Imam Thabrani).

            Dalam riwayat lain ,” Bahwa ada seorang muadzin  datang Umar bin Khottob untuk adzan, namun mendapatinya lagi tidur.” Lalu ia berkata,” "ASH SHALAATU KHAIRUN MINAN NAUM. ASH SHALAATU KHAIRUN MINAN NAUM (Shalat itu lebih baik daripada tidur. Shalat itu lebih baik daripada tidur)." Umar pun kemudian menyetujui lafadz itu untuk dikumandangkan pada adzan subuh ." (HR. Imam Malik dalam kitab Muwattho’)

 

20. Diriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata: " Seseorang datang saat orang –orang sedang shalat . Saat ia tiba di shaf shalat tiba-tiba ia mengucapkan “ALLAHU AKBAR KABIRAW WAL HAMDU LILLAHI KATSIIRAW WASUBHAANALLAAHI BUKRATAN WA ASHIILAN” (Maha Besar Allah, dan segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang)." Tatkala selesai shalat, Rasulullah saw. bertanya: "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?" Orang itu  menjawab: "Saya wahai Rasulullah. “Demi Allah saya ucapkan  hanya untuk  bermaksud baik " Beliau bersabda: "Sungguh aku melihat pintu-pintu langit dibuka karena kalimat itu." Kata Ibnu Umar: "Maka aku tak pernah lagi meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hal itu."(HR. Muslim)

21.  Diriwayatkan dari sayidina Jabir bin Abdullah ra, ia berkata,” Rasulullah saw. berniat mengawali ikhram  lalu membaca talbiyyah  seperti dalam  Ibnu Umar ra. ia berkata: “dan orang-orang menambahkan lafadz talbiyyah  dengan kata-kata, “Dzal ma'arij, dan semisalnya.” Sedang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar dan tidak mengatakan sesuatupun kepada mereka.

           Sementara riwayat Imam Muslim dengan redaksi,”Orang-orang  memulai dan berniat ihram haji dengan lafadz talbiyah mereka itu . Rasulullah tidak  menolak (melarang)  sama sekali sementara  beliau tetap bertalbiyah dengan  talbiyahnya.” (HR. Muslim).

22. Diriwayatkan dari sayidina Rifa'ah bin Rafi' ra.  berkata:Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH' (Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya). Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca: 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah). Selesai shalat beliau bertanya: "Siapa orang yang membaca kalimat tadi?" Orang itu menjawab: "Saya." Beliau bersabda: "Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut."(HR. Imam Bukhori)

 

Al Hafidz Ibnu Hajar  dalam kitab Fathul Bary  berkata,”Hadist ini bisa dijadikan sebagai dalil bolehnya membuat bacaan (dzikir)  di dalam shalat di luar bacaan (dzikir ) yang matsur bila tidak bertentangan bacaan yang matsur dan boleh mengeraskan bacaan (dzikir)  selama tidak mengganggu.”

23. Diriwayatkan dari Abdullah bin  Umar , dia berkata: “Bahwa pada suatu hari ketika telah masuk waktu shalat ada seorang lelaki mengucapkan: “Al Hamdulillah mil’ussama”(segala puji bagi Allah dengan seisi langit), ia juga mengucap tasbih dan berdo'a. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bertanya: "Siapa orang yang mengucapkannya tadi?" Maka lelaki itu menjawab "Aku wahai Rasulullah." Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam pun bersabda: "Sungguh dengannya aku telah melihat para malaikat saling bertemu sebagian mereka dengan sebagian yang lain."(HR. Imam Ahmad)

24. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., ia  berkata: saya bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam dalam suatu halaqah, tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu mengucapkan salam pada Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam dan juga untuk yang lain. Si (laki-laki) berkata:” Assalamu’alikum .” (semoga keselamatan dan rahmat-Nya atas kalian), maka Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam menjawabnya, "Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu.”(Semoga keselamatan dan rahmatNya tercurah atasnya dan atas kalian.") Maka tatkala lelaki tersebut duduk, mengucapkan,”Al Hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi kama yajibu raobbuna wayardlo "Segala puji bagi Allah, pujian yang banyak lagi baik dan berbarakah di dalamnya, sebagaimana rob kami suka dan ridlo". Lantas Nabi Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda, "Demi yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh sepuluh malaikat berebutan menulisnya, masing-masing bersemangat menulisnya dan tidak tahu bagaimana harus menulisnya sampai mereka angkat ke Allah Yang Maha Memiliki Kemuliaan." Maka (Allah) berkata: "Tulislah sebagaimana yang dikatakan hambaKu."(HR. Imam Ahmad dengan para perowi tsiqqot).

25. Diriwayatakan dari Rifa'ah bin Rafi’ ra.  ia berkata: "Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu aku bersin dan mengucapkan, "Alhamdulilaahi Hamdan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fihi, Mubarakan 'Alaihi Kama Yuhibbu Rabbuna Wa Yardla (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla)." Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bersabda: "Siapa yang berbicara waktu shalat?" (beliau menanyakannya hingga tiga kali)  lalu aku menjawab:"Saya yang mengucapkannya”.Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut." (HR. Tirmidzi)

26. Diriwayatkan dari Sayidina ‘Ilafah bin Shuhari assulaithi attamimi ra., bahwa  ia  datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk masuk Islam), kemudian pulang kembali dari sisinya dan melewati sebuah kaum yang pada mereka terdapat orang gila yang diikat dengan sebuah besi. Keluarganya berkata: "Telah sampai kabar kepada kami bahwa sahabat kalian ini datang dengan membawa kebaikan, apakah kalian memiliki sesuatu yang dapat engkau gunakan untuk menjampi-jampi (ruqyah)?" Lalu aku menjampinya menggunakan Surat Al Fatihah sehingga orang itu pun sembuh. Kemudian mereka memberiku seratus ekor kambing. Setelah itu aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan hal tersebut. Beliau lalu bersabda: "Demi Dzat yang memanjangkan umurku, ambillah! Sungguh, orang makan dengan jampi batil sedangkan engkau makan dengan jampi haq (yang benar).” (HR. Ibnu Hibban).

 

27. Diriwayatkan dari sayidina Abu Sa'id al Khudzri ra.bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam suatu perjalanan, ketika mereka singgah di suatu perkampungan dari perkampungan Arab, mereka meminta supaya diberi jamuan, namun penduduk perkampungan itu enggan untuk menjamu mereka, ternyata salah seorang dari tokoh mereka tersengat binatang berbisa, mereka sudah berusaha menerapinya namun tidak juga memberi manfa'at sama sekali, maka sebagian mereka mengatakan: "Sekiranya kalian mendatangi sekelompok laki-laki (sahabat Nabi) yang singgah di tempat kalian, semoga saja salah seorang dari mereka ada yang memiliki sesuatu, lantas mereka mendatangi para sahabat Nabi sambil berkata: "Wahai orang-orang, sesungguhnya pemimpin kami tersengat binatang berbisa, dan kami telah berusaha menerapinya dengan segala sesuatu namun tidak juga membuahkan hasil, apakah salah seorang dari kalian memiliki sesuatu (sebagai obat)?" Salah seorang sahabat Nabi menjawab: "Ya, demi Allah aku akan meruqyahnya (menjampinya), akan tetapi demi Allah, sungguh kami tadi meminta kalian supaya menjamu kami, namun kalian enggan menjamu kami, dan aku tidak akan meruqyah (menjampinya) sehingga kalian memberikan imbalan kepada kami." Lantas penduduk kampung itu berakad damai dengan mereka atas rukyah tersebut  dengan menyediakan beberapa ekor kambing, lalu salah satu sahabat Nabi itu pergi dan membaca al hamdulillahi rabbil 'alamin (al fatihah) dan meludahkan kepadanya hingga seakan-akan pemimpin mereka terlepas dari tali yang membelenggunya dan terbebas dari penyakit yang dapat membinasakannya. Abu Sa'id berkata: "Lantas penduduk kampung tersebut memberikan imbalan yang telah mereka persiapkan kepada sahabat Nabi, dan sahabat Nabi yang lain pun berkata: "Bagilah." Namun sahabat yang meruqyah berkata: "Jangan dulu sebelum kita menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberitahukan apa yang terjadi dan kita akan melihat apa yang beliau perintahkan kepada kita." Setelah itu mereka menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan memberitahukannya kepada beliau, beliau bersabda: "Apakah kamu tidak tahu bahwa itu adalah ruqyah? Dan kalian telah mendapatkan imbalan darinya, maka bagilah dan berilah bagian untukku

."( HR. Imam Bukhori).

28. Diriwayatkan dari Sayidina Ibnu Anas ra. Bahwa  ia pernah membacakan di telinga orang yang mengidap penyakit kronis . Seketika itu ia sadar. Lalu Rasulullah saw.  bertanya,”Apa yang engkau baca tadi ?” ia  menjawab : “ Afahasibtum annama kholaqnakum ‘abatsan.”  ,  hingga akhir surat.” Beliau menimpali,” Kalau seseorang mukmin membacanya pada gunung  , gunung itu dapat hancur berkeping-keping.”

29. Diriwayatkan dari Sayidina Anas ra.  ia berkata,” Bahwa nabi pernah meliwati dekat  seorang Badui Arab, sedang berdo’a dalam shalatnya,” Ya man la tarahul ‘uyunu wala tukholithuhu dhununu wala yashifuhul washifuun wala tughoyyiruhul hawaditsu wala yahsyad dawaira  waya’lmu  mastaqiila jibali makayilal bihari, wa’adada qothril amthori wa’dada ma adzlama ‘ala’il lailu  wa asyraqa ‘alaihin nahara wala tawaraa minu sama’un sama’an wala ardlu ardlon  wala bahrun illa ya’lamu ma fiqo’rihi  wala jabalun  illa ya’lamu  ma fi wa’rihi  ij’al khoiro ‘umri  akhirohu wakhoiro amali khowatimahu  wakhoiro ayyahmi yauma alqooka fiihi “ (artinya;” Wahai dzat yang tidak dapat terlihat oleh mata, dzat yang tidak diragukan keberadaannya, dzat yang dapat tidak mungkin bisa  dibayangkan orang yang membayangkan-Nya, dzat tidak  khawatir kebinasaan , dzat yang mengetahui beratnya (massa) gunung dan takaran volume lautan , jumlah tetesan hujan yang turun, jumlah dedaunan pepohonan, perhitungan jumlah gulirnya gelap malam dan gulirnya terangnya siang, tak tersembunyi darinya langit  dengan lapisan-lapisan langit  yang menutupiya dan bumi dengan lapisan-lapisan bumi yang menutupinya, dan lautan  melainkan Ia mengetahui apa yang ada pada dasarnya dan tidak pula gunung gemunung melainkan mengetahui apa yang terdapat pada relif curamnya, Ya Allah jadikanlah sebaik-baik usiaku terakhir kalinya dan sebaik-baik amalku  di akhir-akhir usiaku dan sebaik-baik hari-hari kehidupanku hari perjumpaanku denganmu.) Kontan Rasulullah mengutus seseorang menemui   Badui Arab tersebut. Sabda beliau,” Jika ia telah selesai shalat bawalah ia datang kepadaku.Kala itu  Rasulullah mendapat hadiah emas ,logam berharga.Tatkala badui arab itu datang  menemui beliau, ia memberikan emas itu padanya.Seraya beliau bertanya,” Dari kabilah mana kamu  wahai a’rabi ?” Dari bani ‘Amir  bin sho’sho’ah  wahai Rasulullah “  Tahukah kau wahai ‘arabi kenapa  aku memberimu emas ini ?” Tanya beliau lagi. ” Untuk menjalin tali persaudaraan antara tuan dan aku.”Jawabnya.” Sabda Rasulullah menimpalinya,” Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu sudah semestinya (hak), akan tetapi aku menghadiahkan emas itu padamu karena (apresiasi/penghargaanku kepadamu atas)  sanjungan dan pujianmu yang indah kepada Allah swt. ( HR. Thobroni).

30.Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata: Ketika saya duduk bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dalam sebuah halaqah (perkumpulan orang) ,tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri shalat, maka tatkala ia rukuk dan sujud lalu bertasyahhud ia berkata dalam doanya, "Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan pengkauan bahwasanya segala pujian hanyalah bagi-MU, tiada Ilah (sesembahan) kecuali Engkau , Pencipta langit dan bumi, wahai yang memiliki ketinggian dan kemuliaan Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Kekal Abadi". Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya ia telah berdoa kepada Allah dengan “Ismullah al ‘adzam” (Nama Allah  Yang Maha Agung), yang jika ia berdoa dengannya maka Allah akan mengabulkannya dan jika ia memintaNya maka ia akan diberi."(HR. Imam Hakim).

31.Diriwayatkan dari Sayidah  'Aisyah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD

(Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ' Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, 'Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.' Spontan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya."( HR. Imam Bukhori).

 

 

 

·           SELAYANG PANDANG PERMASALAHAN BARU INISIATIF PARA SAHABAT  RA. SETELAH MASA KENABIAN (SEPENINGGAL NABI)

 

Berikut persoalan-persolan baru inisiatif para sahabat sepeninggal nabi;

1.        Imam al Bazzar  mengeluarkan hadist dengan sanadnya,” Kami pernah keluar bersama Amirul Mukminin, Ali bin Abi Tholib ra. di hari raya Id . Lalu beberapa orang dari sahabat bertanya kepadanya tentang shalat yang dilakukan sebelum dan setelah shalat Id. Ia tidak menjawabnya sama sekali. Kemudian datanglah pula menemuinya  beberapa orang lagi menanyakan hal serupa . Ia tidak pula memberi jawaban sama sekali.Baru setelah kami tiba tempat shalat. Ia bersama jama’ah menjalankan shalat id.  Selanjutnya ia membaca takbir tujuh kali seraya berkhutbah, kemudian ia turun dari mimbar, kemudian naik kembali. Para sahabat bertanya,” Wahai Amirul mukminin itu orang-orang sama –sama melakukan shalat !” Ali bin Abu Tholib menimpali, Apa menurut kalian barangkali yang bisa aku lakukan.? Kalian bertanyaku tentang “sunnah” . Sesungguhnya Nabi belum pernah melakukan shalat baik sebelum shalat Id dan setelahnya?” Oleh karena itu siapa yang ingin shalat silahkan dan tidak silahkan. Apa kalian kira aku melarang mereka yang shalat itu sehingga aku kategori orang “man mana’a idza sholla” (orang yang melarang orang lain jika ia hendak shalat.)

 

2.        Aku keluar bersama 'Umar bin Al Khaththab radliyallahu 'anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma'mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka 'Umar berkata: "Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama'ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik." Kemudian 'Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka'ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama'ah dengan dipimpin seorang imam, lalu 'Umar berkata: "Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini." Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR. Imam Bukhori )

 

Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah saat menuturkan perihal bid’ah hasanah berkata,”Diantara jenis bid’ah sedemikian adalah apa yang diucapkan Umar bin Khottob  ra.

"Sebaik-baik bid'ah adalah ini." Tatkala  ibadah (mengumpulkan orang-orang dengan satu imam  /shalat teraweh dengan satu imam) kategori amalan –amalan perbuatan baik yang layak dipuji kontan Umar bin Khottob menamainya “bid’ah dan memujinya. Mengingat Rasulullah tidak mensunnahkannya (memerintah menjalankannya secara rutin hingga ke derajat fardlu pent.) kepada mereka , tetapi beliau melakukannya beberapa malam lalu beliau meninggalkannya  tidak memeliharanya (melakukannya secara rutin) dan tidak pula  mengumpulkan orang  menjalankan shalat tersebut (berajama’ah) demikian pula hal sedemikian tidak dilakukan di masa Abu Bakar.Namun  hanya Umar bin Khottob ra  dia  sendiri yang  mengumpulan orang-orang (menjalankan shalat tersebut secara berjama’ah) dan  menganjurkannya, maka iapun menamainya,         ” bid’ah”  yang pada hakekatnya adalah “Sunnah”  di dasarkan sabda Rasulullah saw. “ Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnat para kholifahku rasyidin  yang mendapatkan petunjuk.” [16] dan sabda beliau :” Ikutilah (bersuritauladanlah ) dua orang ini sepeninggalku ; Abu Bakar dan Umar bin Khottob”

Atas pena’wilan sedemikian maka hadist lain (yang kedua) “Kullu bid’atin dzolalah” (Setiap bid’ah adalah sesat ) yang Rasulullah maksudkan hanya yang bid’ah yang bertentangan dasar-dasar syariat dan yang tidak sejalan dengan sunnah.

       Dalam kitab sunan Al Baehaqi diriwayatkan dari As Saib bin Yazid ra dengan sanad shohih  berkata,”Para sahabat menjalankan shalat (qiyamul Ramadlan/taraweh) di masa Umar bin Khottob dua puluh rekaat   dan dimasa Utsman bin Affan mereka sangat teguh memeganginya kuat-kuat.”

3.    Imam Thobrani  mengeluarkan  hadist dari Ibnu Mas’ud bahwa ia membaca dalam tasyahudya   setelah lafadz “Assalamu’ala Nabbiyyi warahmatullahi wabarakatuhu”  “Assalamu’alaina min rabbina ‘ Ia menambahkan bacaan “tasyahud” yang ia riwayatkan sendiri dari Nabi  lafadz, “min rabbina.”

4.  Dari sumber valid diriwayatkan bahwa Nabi dalam bepergian senantiasa mengqoshor shalat. Beliau shalat Dzuhur,Asyar dan Isya’  dua rekaat dua rekaat tidak ada satu riwayatpun  menyebutkan beliau  menjalankan shalat untuk shalat berjenis empat rekaat empat rekaat utuh dalam bepergian.Meski demikian saat di Mina Ustman bin Affan melakukan shalat empat rekaat.Ia pun diprotes Ibnu Mas’ud  namun kemudian ia pun ikut shalat bersama denganya empat rekaat. Dan ketika ia ditanya . Jawabnya,” Aku tidak suka berselisih.”

5. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari sayidina Ali bin Abi Tholib ra berkata,” Kenapa tidak ada seorang dari kalian  bangkit melakukan shalat empat rekaat dan membaca dalam shalatnya,:” tamma nuruka fahadaita falakal hamdu ,’adzuma hilmuka  fa’afauta falakal hamdu wa basaththa barraka  fa’athoita falakal hamdu rabbana wajhuka ‘adhomul wujuh wijahuka ‘adzomul jahi wa’athiyatuka  afdholu athiyathin waahnaaha tutho’u rabbana  fatasykuru, watu’shsya fatughfira watujibal mudzarra watasyifa dzarra watasyfiya saqima wataghfiraa adzamba watabala tauba wala yujzi’bi’alaika ahadun  wala yablugho madhaka qoul qoilin.)’(artinya  sempurna cahayamu ,engkau memberi petunjuk, maka selayaknyalah segala puji miliku semata, agung sifat santunmu,engkau memberi ampun maka semenstinya segala puji miliku semata, Engkau bentangkan daratan (ciptaanmu)  Engkau memberi maka semenstinya segala puji miliku semata,Wahai Tuhan Kami, wajahmu seagung-agung wajah (keridlaanmu sebesar-besar keridlaan)  dan jah (kedudukanmu)  seagung-agung kedudukan, karuniamu sebesar-besar karunia dan senikmat – nikmat karunia. Wahai Tuhan kami engkau dzat di taati segenap makhluk  maka Engkau Dzat menerima syukur.Engkau didurhakai  namun Engkau pengampun, Engkau mengabulkan dua orang yang  terhimpit , Engkau menghilangkan  bahaya,Engkau  menyembuhkan yang sakit  dan mengampuni  orang yang berdosa, Engkau menerima taubat  , tak ada seorangpun yang bisa membalas (membandingi ) karunia kenikmatanmu dan tak ada seorangpun ucapannya bisa mencapai derajat pujianmu.”

6. Dari As Sa'ib bin Yazid  ra. berkata:"Adzan panggilan shalat Jum'at pada mulanya dilakukan ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Hal ini dipraktekkan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan 'Umar radliyallahu 'anhuma. Ketika masa 'Utsman radliyallahu 'anhu dan manusia sudah semakin banyak, maka dia menambah adzan ketiga di Az Zaura'."Yaitu nama sebuah rumah di pasar Madinah”

Adzan ini disebut adzan ketiga  dengan pertimbangan adzan pertama dan iqomah dan disebut adzan kedua dengan tanpa memperhitungkan iqomah.     

 

7.    Tindakan Abu Bakar ra. memerangi para pembangkang membayar zakat dan menghalalkan menumpahkan darah mereka  agar mau mematuhinya, sehingga ia mengucapkan ucapannya yang terkenal,”Demi Allah, kalaulah mereka mencegahku dari membayar unta yang pernah mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya kuperangi karena mencegahnya." Dengan ucapan Umar bin Khottob ( yang bernada memprotesnya)  dan memintanya mengkaji ulang namun kemudian ia mematuhi dan menyadari kebenaran tindakannya.  Lantas Umar berkata: "….. Aku sadar bahwa dia adalah benar." (HR. Imam Bukhori ).

 

8.    Diriwayatkan dari Sayidina Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, bahwa Talbiyah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah: "LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIKA, LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIKA INNAL HAMDA WAN NI'MATA LAKA WAL MULKA LAA SYARIIKA LAKA (Kupatuhi perintah-Mu ya Allah, kupatuhi Engkau. Kupatuhi Engkau, Kupatuhi Engkau, tiada sekutu bagi-Mu. Kupatuhi Engkau, sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu, begitu pula kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu)." Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma menambahkan Talibiyah tersebut dengan bacaan: "LABBAIKA LABBAIKA WA SA'DAIKA WAL KHAIRU BIYADIKA LABBAIKA WARRAGHBAA`U ILAIKA WAL'AMAL (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah untuk mencari ridla-Mu. Kebaikan ada dalam kekuasaan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, sebagai amal ibadah untuk mencari ridla-Mu)."HR. Imam Bukhori).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. juga, “ Bahwa Umar bin Khottob  membaca tambahan ini  dalam talbiyahnya.”

Umar bin Khottob radliallahu 'anhu juga menambahkan dalam talbiyah :” LABBAIKA MARGUBUN ILAIKA  DZAL NA’MAK  WAL FADZIL  HASANI.”( Aku penuhi panggilan-mu, harapan tertuju kepadaMu,wahai Dzat Pemilik segala kenikmatan dan karunia yang baik) .

Sementara orang-orang menambahkan  menambahkan dalam talbiyah lafadz “ Dzal Ma’arij”

            Al Hafidz…. dalam kitab matholibil ‘aliyah  menuturkan  bahwa sayidina Anas ra. mengucapkan dalam talbiyahnya “ Labbaika haqqon ta’abbudan wa riqqon.”

 

 

9.    Benar adanya bersumber dari nabi Muhammad saw. lewat hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim  dan para imam Ahli hadist yang lain, bahwa beliau mengusap dua rukun yamani dari Ka’bah musyarrafah tidak  mengusap selain keduanya. Dan  valid dan shohih pula sumbernya adanya riwayat yang  meriwayatkan dari sejumlah para sahabat, konon mereka mengusap empat rukun ka’bah .”

Diriwayatkan dari Abu Thufail , ia berkata,” Mu’awiyah dan Ibnu Abas mendatangi Ka’bah.Lalu  Ibnu Abbas mengusap  empat rukun Ka’bah kesemuanya.Lantas Mu’awiyyah berkata,” Sesungguhnya (yang aku tahu) Rasulullah saw. hanya mengusap  dua rukun Yamani  ! Ibnu Abbas menimpali,” Tak selayaknya satu bagianpun dari ka’bah yang mesti ditinggalkan.” (HR. Imam Bukhori)

 

10.    Dikisahkan Ibnu Mundzir  dari Jabir , Anas dan Hasan serta Husen radliyallahu ‘anhum. Bahwasanya Sayidina Umar bin Khottob pernah datang  menemui sayidina Abu Bakar ra. mengajukan usulan , ia berkata,” Wahai Kholifatul Rasulullah aku melihat kebanyakan kurban yang gugur   (dalam perang Yamamah) adalah kalangan para penghafal Al Qur’an, aku mengusulkan sekiranya engkau  membukukan Al Qur’an  dalam satu mushaf. Abu Bakar ra menimpali, “ Bagaimana kita melakukan  sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh  Rasulullah saw. “  Kata Umar bin Khottob ra.,” Demi Allah  sungguh ini adalah ide yang baik.” Ia  tak henti-hentinya membujuknya sampai kemudian menerima usulannya. Kemudian mereka bergegas menemui  Zaid bin Tsabit ra. mengusulkan persoalan tersebut. Iapun berkata,” Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah.”  Mereka berdua berkata,” ” Demi Allah  sungguh ini adalah ide yang baik.” Mereka pun tak henti-hentinya membujuknya  hingga Allah melapangkan dadanya (untuk menerima usulan tsb) sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar bin Khottob ra .” (HR. Imam Bukhori)

 

Imam Syatiby menganggap dan menetapkan perbuatan sedemikian sebagai suatu yang wajib . Ia enggan  menamainya  dengan predikat “Bid’ah” . Karena bid’ah, menurutnya,  suatu yang ditujukan atau dimaksudkan untuk  menambah suatu ketetapan syari’ (pembuat syariat, yakni Nabi)  . Dan beliau maksudkan ini adalah bid’ah sayyiah.

 

11.    Diriwayatkan dari Abu Madinah Addaramy, ia tergolong salah seorang sahabat Nabi.  Ia berkata,”Ada dua orang dari kalangan sahabat Nabi  apabila mereka  bertemu maka mereka  tak mau berpisah sebelum  salah seorang diantara mereka membacakan pada yang lain surat  “Wal Asyry innal Insana lafi Khusrin….” (HR. Imam Tabrany dalam kitab Jamiul Ausath).

 

Tatkala Zaid bin Tsabit telah selesai mengumpulkan dan mengkodifikasikan Al Qur’an pada lembaran-lembaran dan dibukukan dalam satu mushaf, ia  serahkan kepada Abu Bakar untuk disimpan. Dan ketika ia wafat  mushhaf pun beralih tersimpan  di rumah  Umar. Kemudian saat Umar wafat beralih tersimpan di rumah Hafsah.

Pada masa awal-awal masa pemerintahan kekholifahan Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu telah terjadi perselisihan  dalam bacaan Al Qur’an. Hudzaifah  ra. berkata kepada Utsman ra.  Wahai amirul Mukminin  aku mendapati umat ini berselisih dalam bacaan (aku usulkan untuk disatukan perbedaan bacaan Al qur’an tersebut  dengan mushaf yang sama) sebelum mereka berselisih dalam kitab mereka seperti perselisihan yang terjadi di kalangan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Aku dapati penduduk Syam  mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membaca Al Qur’an dengan bacaan belum pernah didengar penduduk Irak .Penduduk Irak mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud. Mereka membaca Al Qur’an dengan bacaan yang belum pernah didengar penduduk Syam. Lalu  merekapun   saling mengkafirkan sebagian pada sebagian yang lain. Kontan Utsman menyuruh orang menemui Hafsah menyampaikan  pesannya  ,”Berikan shuhuf (lembaran-lembaran mushaf) , karena kami akan menyalin ke dalam beberapa salinan mushaf maka bila telah selesai kami akan mengembalikan kepadamu.”  Begitu diterima Utsman menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash  dan Abdurrohman bin al Harits  bin Hisyam. Mereka menyalin mushaf tersebut ke dalam beberapa salinan mushaf . Ia mengirimkan di setiap penjuru negeri satu mushhaf  dan menyimpan satu mushhaf di Madinah.Kemudian memerintah  membakar setiap shohifah (lembaran )  al Qur’an selain mushhaf tersebut dan meninggalkan bacaan-bacaan syaadz.

Amal perbuatan ini  meskipun belum pernah dilakukan di masa Nabi , namun dinilai amal perbuatan kebaikan paling bernilai dan urgent serta sangat banyak  manfaatnya bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin.

 

12.    Diriwayatkan dari sayidina Anas radliyallahu ‘anu, bahwa ia menyaksikan jenazah seorang laki-laki Anshar, ia berkata: “Lalu orang-orang mengeraskan istighfar namun Anas tidak mengingkari hal itu. Dan mereka memasukkannya dari arah kaki kuburnya. (HR. Imam Ahmad).

13.    Diriwayatkan dari Umar bin Khottob radliyallahu anhu bahwa bila ia usai  menjalankan sholat Jum’at ia pulang sambil membaca do’a ,” ALLAHUMMA INNI AJABTU DA’WATAKA  WASHOLLAITU  FARIDLOTAKA  WAN TASYARTHU KAMA AMARTANI FARZUQNI MIN FADZLIKA  WAANTA KHOIRURROZIQIN.”  (artinya Ya Allah sungguh aku telah menyambut seruan-Mu dan menjalan shalat yang engkau fardlukan dan kemudian bertebaran sebagaimana yang engkau perintahkan , maka karuniakan rizki kepadaku dari anugerah-Mu dan sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik Pemberi rizki ).

14.    Imam Thabrani  mengeluarkan hadist dari sayidina Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bahwa apabila ia menghatamkan Al Qur’an ia mengumpulkan keluarganya ; istri dan anaknya dan berdo’a untuk kebaikan mereka.

15.     Diriwayatkan dari Daud bin Abi Sholeh  berkata,”

 

 

 

 



[1] ) Hadist dikeluarkan oleh Muslim dari hadist yang panjang (hadist ke 2002) Nasyai ( 1577) Ibnu Majah ( 45) Addaromy (221) Imam Ahmad ( Juz.2 /210) Ibnu Huzaimah (1785) Abu Ya’la ( 2111) , Al Baihaqi ( Juz. 2/ 206) Al Baghowi ( 4295) Ibnu Hibban (10)

[2] ) Hadist dikeluarkan Imam Bukhori  (1906) Imam Malik ( Juz 1/ 114-115)

[3] ) Hadist diriwayatkan Imam Ahmad  .

[4] ) Catatan pent. ,karena  menurut persepektif ulama ushul tidak boleh mengamalkan lafadz ‘am sebelum mencari dalil yang mentahsiskannya.

[5] )  Sighot  lafadz ‘am (lafadz Kullun)

[6] ) Pernyataan ini dikutip syekh al Jamal  dalam hasyiyah ‘alal Jalalain, dari Ibnu Taimiyah  ketika menafsiri ayat ini . dan telah ia kemukakan pula dalam bab wushulul tsawwabi Qur’an  , Hal. 304)

[7] ) Kitab Itqoni syun’ah oleh syekh Abdullah bin Shodiq al Ghomary

[8] ) Hadist dikeluarkan Imam Bukhori.

[9] )Hadist dikeluarkan Abu Daud  (hadist nomer 1784), Imam Hakim ( nomer 1762), dishohikan  dan disepakati Imam Dzahabi.

[10] ) Kitab “Itqonishun’ah  fi tahqiqi maknal bid’ah  oleh Syekh  Abdullah bin Shodiq al Ghomary husainy.

[11] ) Dalam Musnad Ahmad, hadist  21023 dengan redaksi ,” Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam usai shalat saat jamaah tengah duduk dalam shalat, ia langsung duduk. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam usai shalat, ia berdiri dan mengganti rakaat yang tertinggal kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tirulah seperti yang dilakukan Mu'adz."

[12] ) Hadist diriwayatkan  oleh Imam Ahmad  dan dishohihkan oleh Ibnu Daqiqil ‘id   dan Ibnu Hazm (20/271)

[13] ) Hadist  diriwayatkan oleh Imam Bukhori..

[14] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Ahmad .

[15] ) Hadist ini telah ditahrij dalam bab dzikir dengan berjama’ah  dan lainnya  hal 356.

[16] Ibid. hal. 139.