Syariat Islam sebagai sumber hukum materiil bagi konstitusi dan undang-undang dasar negara
Pengantar:
Undang-undang dengan pengertian luas pada
esensinya merupakan ekspresi kehendak negara.Kehendak inilah satu-satunya yang
akan merepresentasikan diri sebagai undang-undang .Namun negara ini tidak
menyatakan kehendakya dengan satu cara,sebaliknya kehendaknya diungkapkan
dengan ragam cara sesuai pejabat umum yang ditunjuk menyatakannya.Dari
sini dapat difahami bahwa sumber aturan
hukum dan undang-undang itu beragam
sesuai pejabat yang memegang kekuasaan umum yang diamanati untuk mengungkapkan kehendak negara
tersebut.Meski tidak menutup kemungkinan
ada terjadinya kontradiksi antara
aturan undang-undang ini dan juga terjadi
pertentangan antara pejabat pemegang kekuasan dan institusi yang mengeluarkan surat keputusannya. Dan kemudian konflik antara pihak berkuasa atau badan yang mengambil alih
keputusan’
. Cukup dimaklumi adanya hirarchi aturan – undang-undang sesuai segi kekuatan
dan tingkat kekuatan mengikatnya.Sebagian undang-undang ada yang berada hirarki
tingkat atas , yang sudah tentu undang-undang di tingkat bawah harus tunduk pada aturan undang-undang yang
berlevel atas , tidak boleh bertolak belakang. Jika tidak maka peraturan
undang-undang itu tidak memiliki validasi yang syah dan harus batal alias tidak
dapat diberlakukan.Sebagaimana peninjauan
ulang (mereview) mengenai penentuan kekuatan hukum atas suatu aturan
undang-undang merujuk kepada pejabat dan penguasa yang berwenang mengeluarkan
aturan undang-undang dan aturan prosedur pelaksanaan yang diikutinya.
Oleh karena itu
adalah tidak sulit menentukan tingkatan (level)
perundang-undangan sesuai sumbernya. Lantaran badan konstitusi lebih tinggi derajatnya di
banding badan konstituante karena
dinilai sebagai penyelenggara undang-undang, dan badan legislatif lebih tinggi levelnya di
banding badan eksekutif dalam membuat
aturan perundang-undangan atas dasar badan legislatif hanya berwenang membuat
peraturan perundang-undangan ansich, sementara badan eksekutif dikesampingkan dalam kewenangan tersebut,
maka undang-undang dasar yang di keluarkan
dari badan konstitusi memiliki
hirarki lebih tinggi dari aturan undang-undang
yang ditetapkan oleh badan
legislatif.Seperti halnya aturan undang-undang ini memiliki hirarki lebih
tinggi dibanding peraturan-peraturan yang dibuat badan eksekutif . Dengan
demikian, masalahnya terbatas pada sumber resmi yang tidak dikodifikasi atau
disahkan ,
yang merupakan prinsip umum hukum dan peraturan adat. Pendapat yang kuat menurut visi
fiqih dan visi peradilan, bahwa norma-norma peraturan adat tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat atas segala bentuk perundang-undangan apapun
adanya. Fiqih kontemporer dan peradilan konstitusi di Perancis dan Mesir
bervisi pandang bahwa prinsip-prinsip dasar
undang-undang memiliki kekuatan mengikat yang sejajar dengan
undang-undang dasar (Konstitusi). Atau paling tidak /minimal berada dibawah
Undang-undang dasar secara hirarchis dan
diatas peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen dalam aspek
kekuatan hukum mengikatnya.
Peradilan (Mahkamah Konstitusi) memiliki peran amat
penting dalam menyingkap prinsip-prinsip dasar aturan undang secara umum yang
berusaha merefleksikan spirit perundang-undang secara umum dan aspirasi masyarakat dengan dukungan
norma-norma hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip dasar sistem pemerintahan di negara tersebut, konstitusi-konstitusi dan
politik yang memuat perencanaan – perencanaan eksidentiil dan arah trend
kecendrungan politik yang ada di negara tersebut. Dimana prinsip-prinsip umum
tersebut dianggap sebagai intrepretasi pihak peradilan terhadap aspirasi umum
masyarakat, dan kehendak badan
legislatif atau kehendak aturan
perundang-perundangan yang berdasar pada falsafah umum yang berlaku di negara dan terlahir dari ideologi dan falsafah
masyarakat yang membimbing badan legislatif dan peradilan dalam membuat aturan-aturan undang-undang.
Sendi-
sendi dasar dan nilai-nilai
kehidupan masyarakat Mesir terkristalisasi dalam keimanan mereka kepada
Allah dan para Rasul-Nya ,prinsip-prinsip nilai-nilai akhlak yang luhur ,
berbagai nilai-nilai, tradisi –tradisi asli
keluarga mesir, pendidikan agama dan warisan sejarah bangsa, keadilan
dan kebebasan diri para warganya dan kehormatan diri mereka dan prinsip-prinsip
dasar lain yang dipelihara masyarakat mesir dan biasanya mendapat perhatian
badan legislatif seperti pada empat bab
pertama dari undang-undang 1971.
Oleh
karena itu setiap badan pembuat perundang-undangan (legislatif) mesti berusaha kuat menjamin setiap aturan perundang-undangan
yang dibuat harus terlahir dari sendi-sendi dan nilai-nilai ini yang erat hubungannya dengan realitas masyarakat,
sejalan dengan situasi sosial, politik dan agama, selaras dengan kebiasaan,
tradisi masyarakat , tata krama, sistem kehidupan dan aqidahnya. Dari sini maka badan legislatif (pembuat aturan
perundang-undangan) di negara – negara Islam
berkeinginan kuat agar peraturan hukum selaras dengan ajaran-ajaran
Islam yang menjadi tata cara ibadah komunitas masyarakat di negara-negara
ini.Peraturan-peraturan hukum hadir sejalan dengan aqidah dan sistem kehidupan mereka dengan tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai
etika yang berlaku di kalangan mereka. Mereka adalah
mayoritas di negara-negara tersebut. Inilah yang melatar belakangi kenapa badan konstitusi di sejumlah negara arab berusaha
kuat menetapkan dalam konstitusi undang-undang dasarnya bahwa syariat Islam
merupakan sumber pokok peraturan undang-undang di mesir, sumber pokok peraturan
perundang-undangan kuwait,bahrain dan dasar peraturan perundang-undangan di
kesultanan Oman.
Penyusunan teks-teks konstitusional ini telah menimbulkan
kontroversi mengenai interpretasi dan maknanya. Dan apakah itu
berarti bahwa hukum Islam hanyalah sumber undang-undang yang obyektif atau
material, dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi semua orang untuk
mengikuti, karena ini hanya sebuah wacana kepada legislator mengenai
sumber-sumber obyektif dari mana undang-undangnya dia buat. Atau apakah melebihi hal itu sampai-sampai
batas memiliki kekuatan hukum mengikat
sebagai sumber hukum resmi,
selain itu masalah menentukan sejauh mana legislator mematuhi prinsip-prinsip
hukum Islam di Mesir dan apakah itu terbatas pada tujuannya atau meluas pada
ketentuannya. Mana makna dan ketentuan yang dikehendaki hukum-hukum Syariah?
Apakah ia berbeda dengan pengertian dan ketentuan yang difahami fiqih Islami.Di
mana dalam kondisi seperti ini untuk mengintrepretasikannya membutuhkan
referensi agama atau tidak .Yang merupakan
masalah hukum dan konstitusional dan tidak hanya religius, yang mengharuskan
kita untuk mempresentasikan posisi peradilan dan yurisprudensi konstitusional
sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut :
Pertama:
Pengertian terminologi “Hukum Islam”
Pertama: Pengertian terminologi Syariat Islam.
Syariat Islam mungkin dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip dan hukum-hukum yang qoth’i /pasti yang telah ditetapkan Allah untuk semua umat manusia lewat lesan Nabi Muhammad saw. Lantaran itulah maka hukum syariat memiliki karakteristik dari ketentuan hukum dan syariah atau ciri khas norma hukum , yaitu holistik,............, acceptble.
Oleh karena itu,hukum-hukum ini
memiliki kekuatan hukum sebagai undang –undang yang mengikat semua orang,
karena dinilai sebagai bagian konstruksi bangunan hukum di negara tersebut
yang menempati posisi tertinggi .
Hukum-hukum – yang dalam persepsi kita – berbasis prinsip-prinsip umum yang mempunyai
kekuatan mengikat secara alami maupun mandiri kepada semua pihak - inilah yang disebut syariah islamiyah, mAka
syariat islam ini secara pasti mempunyai kekuatan mengikat sebagai aturan
hukum. namun pada dasarnya kekuatan mengikat sepenuhnya tergantung pada pemegang kekuasaan publik, yakni menjadi
prinsip –prinsip dasar wulatul amri ( para penguasa ) dalam polecinya,
sekiranya dibutuhkan saat terjadi kontroversi antara mereka atau bersama
mereka. sehingga menjadi jalan solusi jalan keluar dari kontroveri yang
terjadi.Sebenarnya hukum-hukum syariat tidak memiliki kekuatan mengikat dengan
sendiri kecuali lewat prinsip-prinsip dasar wullatul amri ( pemegang
kekuasaan/pejabat Pemerintah) yang harus
mereka patuhi dalam membuat poleci dan kebijakan mereka,baik dalam membuat
konstitusi (peraturan perundang-undangan dasar ) maupun membuat ketetapan
undang-undang (pelaksanaan),keputusan peradilan,intruksi – instruksi baik
administratif maupun (kepemimpinan), perjanjian damai , persepakatan
Internasional maupun bentuk
kebijakan-kebijakan lainnya.
Mahkamah konstitusi berulang kali memutuskan untuk
mempertautkan antara prinsip syariat Islam dengan hukum-hukum qoth’i pasti yang
ada di dalamnya, secara vulgar memutuskan bahwa hukum-hukum syariat yang dinilai konstitusi sebagai sumber pokok
konstitusi dan perundang-undangan
sebagaiman tertuang butir pasal
2, dinyatakan “Hukum –hukum yang qoth’i
baik dalam sumber dan makna yang ditunjukinya lantaran ketentuan-ketentuan
hukum ini sendiri tidak ada ruang untuk ijtihad.Berbeda halnya
ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat (dhonniyah /uncertenly) baik dalam
sumber datangnya maupun indikasi makna yang dimaksudknnya atau kedua-duanya, yang mana memberi peluang lebar
berijtihad untuk mengatur persoalan para hamba
(umat) dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan mereka.Dan adalah tidak
diperkenankan suatu ketentuan konstitusi bertolak belakang ketentuan hukum
–hukum qoth’i dalam aspek sumber
datangnya dan indikasi makna yang ditunjukinya sekaligus, yang tidak ruang
ijtihad di dalamnya,. Karena hukum-hukum qoth’i itu merepresentasikan prinsip-prinsip
universal dan dasar-dasar konstan dari
syariat Islam yang tidak akan mengalami pena’wilan dan perubahan serta tidak akan bisa dibayangkan
mengalami perubahan pemahaman meski berubah masa dan tempat . Lantaran ia tak ubahnya tongkat
yang berguna meluruskan (barisan), yang tidak boleh menyimpang dari maknanya
yang sebenarnya.....Berbeda halnya dengan ketentuan hukum-hukum yang bersifat
“dhonniyah” yang tidak pasti (qoth’i) baik sumbernya ataupun dilalah (indikasi)
makna ditunjukkannya, atau tidak pasti dari kedua aspeknya sekaligus.Karena
ruang ijtihad hanya terbatas nas-nas hukum yang sedemikian tidak melampau di
luar itu.Ketentuan hukum sedemikian ini sudah tentu mengalami dinamika perkembangan seiring
perubahan masa dan perbedaan tempat ,guna menjamin fleksibelitas
–elastisitasnya dan dinamisnya, dan untuk mengantisipasi kasus - kasus
kehidupan yang terjadinya dengan segala aneka ragamya.
Di samping itu Mahkamah Konstitusi juga memutuskan
bahwa “ijtihad” meski merupakan hak
perogratif penuh para mujtahid, namun utamanya sekiranya hak ini ditetapkan
sebagai hak waliul amri (pemegang
kekuasaan umat). Dialah yang akan berusaha mencurahkan segenapnya
kesanggupannya untuk menkonklosikan hukum syariat dari dalil-dalil yang tafsily (rinci) dan
mengaktifan rasio menilai hal-halyang tidak ada ketentuan nasynya hingga bisa
menetapkan aturan-aturan praktis sejalan dengan
keadilan dan rahmat Allah yang dikehendaki bagi para hambaNya, yang
masuk bagian syariat Islam,yang tidak hanya mengkultuskanpendapat salah seorang dari para fuqoha dalam satu
persoalan tanpa reserve, mereview kembali, koreksi dan mengganti yang lain yang
lebih memperhatikan kemaslahatan yang sebenarnya, yang tidak kontradiksi dengan
tujuan-tujuan luhur dari syariat.Pendapat-pendapat ijtihadiyah , kehujahannya
tidaklah melampaui (relativitas) kadar kemapuan para mujthidnya dan tidak
boleh dianggap syariat baku yang tidak boleh dibatalkan validitasnya.
Kedua
: Pengertian terminologi fiqih Islami
Sebagian besar para ulama agama Islam mencampur adukkan antara
hukum-hukum dan sumber-sumber fiqih islam dan syariat Islam.Ada sebagian mereka
memandang kesemuanya sebagai fiqih islam. Sebaliknya ada yang menilai
kesemuanya sebagai syariat Islam.Sementara segolongan mereka memandang bahwa
fiqih Islam merupakan ilmu tentang hukum-hukum syariat apapun sumbernya. Serta
ada yang berpendapat bahwa fiqih islam adalah hukum-hukum itu sendiri.
Yang benar, menurut penilaian kami
adalah jika hukum-hukum syariat Islam itu sesuai yang telah kami
kemukakan, yaitu hukum-hukum qoth’i (akurat ) baik sumbernya maupun dilalahnya
yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah (hadist ) yang shahih.Hukum-hukum ini
tidak mengalami perubahan dan penggantian lantaran sesuai setiap masa dan
tempat dan segala keadaan karena bersumber dari Tuhan sendiri.Oleh
karena itu legislator berkewajiban memperundang-undangkan dan
memberlakukannya.Sesunggunya Fiqih Islami itu dalam perspektif orang
merefleksikan hukum-hukum syariat yang tidak qoth’i baik berupa nash-nash
maupun tujuannya.pemahaman ini bisa jadi berbeda dan berubah seiring perbedaan
situaasi dan keadaan.Seorang faqih bisa jadi mengungkapkan persepsiny a
terhadap makna dilalah nasy-nash yang tidak qoth’i dilalahna, yang terkadang
persepsinya sejalan dengan ahli fiqih yang lain dan bertolak belakang, bahkan
bisa jadi seorang faqih sendiri menyimpang dari pendapatnya
semula.Ijtihad-ijtihad para fuqoha itu bukanlah syariat ,hingga meskipun
diterima di masa mereka, karena ternyata
tidak bisa diterima di masa kita, lantaran perubahan situasi dan kondisi.Oleh
karena pendapat-pendapat itu pun menjadi referensi juriprudensi semata dan
tidak menjadi kekuatan mengikat termasuk pada diri legislator, kecuali ia memandang
ijtihad-ijtihad mereka itu releven
dengan kebutuhan dan tuntuan kehidupan modern dan tidak kontradiks dengan
hukum-hukum syariat Islam yang qoth’i ,sejalan dengan prinsip-prinsip dan
tujuan syariat ini.Dengan demikian kemungkinan kita dapat melekatkan pada
hukum-hukum ijtihadiyah ini dengan predikat “ Fiqih Islami” yang hampir nota bene bersumber pada ra’yu (rasio) dan ijtihad .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar