Senin, 15 Januari 2018

SYARIAT ISLAM SEBAGAI SUMBER HUKUM MATERIIL KONSTITUSI DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA -NEGARA ISLAM



Syariat Islam sebagai sumber hukum materiil bagi  konstitusi dan undang-undang dasar negara
Pengantar:
Undang-undang dengan pengertian luas pada esensinya merupakan ekspresi kehendak negara.Kehendak inilah satu-satunya yang akan merepresentasikan diri sebagai undang-undang .Namun negara ini tidak menyatakan kehendakya dengan satu cara,sebaliknya kehendaknya diungkapkan dengan ragam cara  sesuai pejabat  umum yang ditunjuk menyatakannya.Dari sini  dapat difahami bahwa sumber aturan hukum dan undang-undang  itu beragam sesuai pejabat yang memegang kekuasaan umum yang  diamanati untuk mengungkapkan kehendak negara tersebut.Meski tidak menutup kemungkinan  ada terjadinya kontradiksi  antara aturan undang-undang  ini dan juga  terjadi  pertentangan  antara  pejabat pemegang kekuasan dan institusi yang  mengeluarkan surat keputusannya. Dan kemudian konflik antara pihak berkuasa atau badan yang mengambil alih keputusan’ . Cukup dimaklumi adanya hirarchi aturan – undang-undang sesuai segi kekuatan dan tingkat kekuatan mengikatnya.Sebagian undang-undang ada yang berada hirarki tingkat atas , yang sudah tentu undang-undang di tingkat bawah   harus tunduk pada aturan undang-undang yang berlevel atas , tidak boleh bertolak belakang. Jika tidak maka peraturan undang-undang itu tidak memiliki validasi yang syah dan harus batal alias tidak dapat  diberlakukan.Sebagaimana peninjauan ulang (mereview) mengenai penentuan kekuatan hukum atas suatu aturan undang-undang merujuk kepada pejabat dan penguasa yang berwenang mengeluarkan aturan undang-undang dan aturan prosedur pelaksanaan yang diikutinya.
Oleh karena itu adalah tidak sulit menentukan tingkatan (level)  perundang-undangan sesuai sumbernya. Lantaran  badan konstitusi lebih tinggi derajatnya di banding badan konstituante  karena dinilai sebagai penyelenggara undang-undang, dan  badan legislatif lebih tinggi levelnya di banding badan eksekutif  dalam membuat aturan perundang-undangan atas dasar badan legislatif hanya berwenang membuat peraturan perundang-undangan ansich, sementara badan eksekutif  dikesampingkan dalam kewenangan tersebut, maka undang-undang dasar yang di keluarkan  dari  badan konstitusi memiliki hirarki lebih tinggi dari aturan undang-undang  yang ditetapkan  oleh badan legislatif.Seperti halnya aturan undang-undang ini memiliki hirarki lebih tinggi dibanding peraturan-peraturan yang dibuat badan eksekutif . Dengan demikian, masalahnya terbatas pada sumber resmi yang tidak dikodifikasi atau disahkan , yang merupakan prinsip umum hukum dan peraturan adat. Pendapat yang kuat  menurut visi  fiqih dan visi peradilan, bahwa norma-norma peraturan adat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atas segala bentuk perundang-undangan apapun adanya. Fiqih kontemporer dan peradilan konstitusi di Perancis dan Mesir bervisi pandang bahwa prinsip-prinsip dasar  undang-undang memiliki kekuatan mengikat yang sejajar dengan undang-undang dasar (Konstitusi). Atau paling tidak /minimal berada dibawah Undang-undang dasar secara hirarchis  dan diatas peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen dalam aspek kekuatan hukum mengikatnya.
Peradilan         (Mahkamah Konstitusi) memiliki peran amat penting dalam menyingkap prinsip-prinsip dasar aturan undang secara umum yang berusaha merefleksikan spirit perundang-undang secara umum  dan aspirasi masyarakat dengan dukungan norma-norma hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip  dasar sistem pemerintahan  di negara tersebut, konstitusi-konstitusi dan politik yang memuat perencanaan – perencanaan eksidentiil dan arah trend kecendrungan politik yang ada di negara tersebut. Dimana prinsip-prinsip umum tersebut dianggap sebagai intrepretasi pihak peradilan terhadap aspirasi umum masyarakat, dan kehendak  badan legislatif  atau kehendak aturan perundang-perundangan yang berdasar pada falsafah umum yang berlaku di negara  dan terlahir dari ideologi dan falsafah masyarakat yang membimbing badan legislatif dan peradilan  dalam membuat aturan-aturan undang-undang.
Sendi- sendi  dasar dan nilai-nilai kehidupan  masyarakat Mesir  terkristalisasi dalam keimanan mereka kepada Allah dan para Rasul-Nya ,prinsip-prinsip nilai-nilai akhlak yang luhur , berbagai nilai-nilai, tradisi –tradisi asli  keluarga mesir, pendidikan agama dan warisan sejarah bangsa, keadilan dan kebebasan diri para warganya dan kehormatan diri mereka dan prinsip-prinsip dasar lain yang dipelihara masyarakat mesir dan biasanya mendapat perhatian badan legislatif  seperti pada empat bab pertama dari undang-undang 1971.
Oleh karena itu setiap badan pembuat perundang-undangan (legislatif)  mesti berusaha kuat  menjamin setiap aturan perundang-undangan yang dibuat harus terlahir dari sendi-sendi dan nilai-nilai ini yang  erat hubungannya dengan realitas masyarakat, sejalan dengan situasi sosial, politik dan agama, selaras dengan kebiasaan, tradisi masyarakat , tata krama, sistem kehidupan dan aqidahnya. Dari sini maka  badan legislatif (pembuat aturan perundang-undangan) di negara – negara Islam  berkeinginan kuat agar peraturan hukum selaras dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi tata cara ibadah komunitas masyarakat di negara-negara ini.Peraturan-peraturan hukum hadir sejalan dengan aqidah  dan sistem kehidupan mereka  dengan tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai etika yang berlaku di kalangan mereka. Mereka adalah mayoritas di negara-negara tersebut. Inilah yang melatar belakangi kenapa badan konstitusi di sejumlah negara arab berusaha kuat menetapkan dalam konstitusi undang-undang dasarnya bahwa syariat Islam merupakan sumber pokok peraturan undang-undang di mesir, sumber pokok peraturan perundang-undangan kuwait,bahrain dan dasar peraturan perundang-undangan di kesultanan Oman.
Penyusunan teks-teks konstitusional ini telah menimbulkan kontroversi mengenai interpretasi dan maknanya. Dan apakah itu berarti bahwa hukum Islam hanyalah sumber undang-undang yang obyektif atau material, dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi semua orang untuk mengikuti, karena ini hanya sebuah wacana kepada legislator mengenai sumber-sumber obyektif dari mana undang-undangnya dia buat.  Atau apakah melebihi hal itu sampai-sampai batas memiliki kekuatan hukum mengikat  sebagai  sumber hukum resmi, selain itu masalah menentukan sejauh mana legislator mematuhi prinsip-prinsip hukum Islam di Mesir dan apakah itu terbatas pada tujuannya atau meluas pada ketentuannya. Mana makna dan ketentuan yang dikehendaki hukum-hukum Syariah? Apakah ia berbeda dengan pengertian dan ketentuan yang difahami fiqih Islami.Di mana dalam kondisi seperti ini untuk mengintrepretasikannya membutuhkan referensi agama atau tidak .Yang merupakan masalah hukum dan konstitusional dan tidak hanya religius, yang mengharuskan kita untuk mempresentasikan posisi peradilan dan yurisprudensi konstitusional sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut :

Pertama: Pengertian terminologi “Hukum Islam”

Pertama: Pengertian terminologi  Syariat Islam.

Syariat Islam mungkin dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip dan hukum-hukum yang qoth’i /pasti  yang telah ditetapkan Allah untuk semua umat manusia lewat lesan  Nabi Muhammad saw.  Lantaran itulah maka hukum syariat memiliki karakteristik dari ketentuan hukum dan syariah atau ciri khas norma hukum , yaitu holistik,............, acceptble.
Oleh karena itu,hukum-hukum ini memiliki kekuatan hukum sebagai undang –undang yang mengikat semua orang, karena dinilai sebagai bagian konstruksi bangunan hukum di negara tersebut yang  menempati posisi tertinggi . Hukum-hukum  – yang dalam persepsi  kita – berbasis prinsip-prinsip umum yang mempunyai kekuatan mengikat secara alami maupun mandiri kepada semua pihak  - inilah yang disebut syariah islamiyah, mAka syariat islam ini secara pasti mempunyai kekuatan mengikat sebagai aturan hukum. namun pada dasarnya kekuatan mengikat sepenuhnya tergantung pada  pemegang kekuasaan publik, yakni menjadi prinsip –prinsip dasar wulatul amri ( para penguasa ) dalam polecinya, sekiranya dibutuhkan saat terjadi kontroversi antara mereka atau bersama mereka. sehingga menjadi jalan solusi jalan keluar dari kontroveri yang terjadi.Sebenarnya hukum-hukum syariat tidak memiliki kekuatan mengikat dengan sendiri kecuali lewat prinsip-prinsip dasar wullatul amri ( pemegang kekuasaan/pejabat Pemerintah)  yang harus mereka patuhi dalam membuat poleci dan kebijakan mereka,baik dalam membuat konstitusi (peraturan perundang-undangan dasar ) maupun membuat ketetapan undang-undang (pelaksanaan),keputusan peradilan,intruksi – instruksi baik administratif maupun (kepemimpinan), perjanjian damai , persepakatan Internasional  maupun bentuk kebijakan-kebijakan lainnya.
Mahkamah konstitusi berulang kali memutuskan untuk mempertautkan antara prinsip syariat Islam dengan hukum-hukum qoth’i pasti yang ada di dalamnya, secara vulgar memutuskan bahwa hukum-hukum syariat  yang dinilai konstitusi sebagai sumber pokok konstitusi dan perundang-undangan  sebagaiman tertuang  butir pasal 2, dinyatakan “Hukum –hukum  yang qoth’i baik dalam sumber dan makna yang ditunjukinya lantaran ketentuan-ketentuan hukum ini sendiri tidak ada ruang untuk ijtihad.Berbeda halnya ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat (dhonniyah /uncertenly) baik dalam sumber datangnya maupun indikasi makna yang dimaksudknnya atau  kedua-duanya, yang mana memberi peluang lebar berijtihad untuk mengatur persoalan para hamba  (umat) dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan mereka.Dan adalah tidak diperkenankan suatu ketentuan konstitusi bertolak belakang ketentuan hukum –hukum qoth’i  dalam aspek sumber datangnya dan indikasi makna yang ditunjukinya sekaligus, yang tidak ruang ijtihad di dalamnya,. Karena hukum-hukum qoth’i itu merepresentasikan prinsip-prinsip universal dan dasar-dasar konstan  dari syariat Islam yang tidak akan mengalami pena’wilan dan  perubahan serta tidak akan bisa dibayangkan mengalami perubahan pemahaman meski berubah masa  dan tempat . Lantaran ia tak ubahnya tongkat yang berguna meluruskan (barisan), yang tidak boleh menyimpang dari maknanya yang sebenarnya.....Berbeda halnya dengan ketentuan hukum-hukum yang bersifat “dhonniyah” yang tidak pasti (qoth’i) baik sumbernya ataupun dilalah (indikasi) makna ditunjukkannya, atau tidak pasti dari kedua aspeknya sekaligus.Karena ruang ijtihad hanya terbatas nas-nas hukum yang sedemikian tidak melampau di luar itu.Ketentuan hukum sedemikian ini sudah tentu  mengalami dinamika perkembangan seiring perubahan masa dan perbedaan tempat ,guna menjamin fleksibelitas –elastisitasnya dan dinamisnya, dan untuk mengantisipasi kasus - kasus kehidupan yang terjadinya dengan segala aneka ragamya.
Di samping itu Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa “ijtihad” meski  merupakan hak perogratif penuh para mujtahid, namun utamanya sekiranya hak ini ditetapkan sebagai hak  waliul amri (pemegang kekuasaan umat). Dialah yang akan berusaha mencurahkan segenapnya kesanggupannya untuk menkonklosikan hukum syariat  dari dalil-dalil yang tafsily (rinci) dan mengaktifan rasio menilai hal-halyang tidak ada ketentuan nasynya hingga bisa menetapkan aturan-aturan praktis sejalan dengan  keadilan dan rahmat Allah yang dikehendaki bagi para hambaNya, yang masuk bagian syariat Islam,yang tidak hanya mengkultuskanpendapat  salah seorang dari para fuqoha dalam satu persoalan tanpa reserve, mereview kembali, koreksi dan mengganti yang lain yang lebih memperhatikan kemaslahatan yang sebenarnya, yang tidak kontradiksi dengan tujuan-tujuan luhur dari syariat.Pendapat-pendapat ijtihadiyah , kehujahannya tidaklah melampaui (relativitas)  kadar kemapuan para mujthidnya dan tidak boleh dianggap syariat baku yang tidak boleh dibatalkan validitasnya.

Kedua : Pengertian terminologi fiqih Islami
Sebagian besar para ulama agama Islam mencampur adukkan antara hukum-hukum dan sumber-sumber fiqih islam dan syariat Islam.Ada sebagian mereka memandang kesemuanya sebagai fiqih islam. Sebaliknya ada yang menilai kesemuanya sebagai syariat Islam.Sementara segolongan mereka memandang bahwa fiqih Islam merupakan ilmu tentang hukum-hukum syariat apapun sumbernya. Serta ada yang berpendapat bahwa fiqih islam adalah hukum-hukum itu sendiri.
Yang benar, menurut penilaian kami  adalah jika hukum-hukum syariat Islam itu sesuai yang telah kami kemukakan, yaitu hukum-hukum qoth’i (akurat ) baik sumbernya maupun dilalahnya yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah (hadist ) yang shahih.Hukum-hukum ini tidak mengalami perubahan dan penggantian lantaran sesuai setiap masa dan tempat  dan segala keadaan  karena bersumber dari Tuhan sendiri.Oleh karena itu legislator berkewajiban memperundang-undangkan dan memberlakukannya.Sesunggunya Fiqih Islami itu dalam perspektif orang merefleksikan hukum-hukum syariat yang tidak qoth’i baik berupa nash-nash maupun tujuannya.pemahaman ini bisa jadi berbeda dan berubah seiring perbedaan situaasi dan keadaan.Seorang faqih bisa jadi mengungkapkan persepsiny a terhadap makna dilalah nasy-nash yang tidak qoth’i dilalahna, yang terkadang persepsinya sejalan dengan ahli fiqih yang lain dan bertolak belakang, bahkan bisa jadi seorang faqih sendiri menyimpang dari pendapatnya semula.Ijtihad-ijtihad para fuqoha itu bukanlah syariat ,hingga meskipun diterima  di masa mereka, karena ternyata tidak bisa diterima di masa kita, lantaran perubahan situasi dan kondisi.Oleh karena pendapat-pendapat itu pun menjadi referensi juriprudensi semata dan tidak menjadi kekuatan mengikat termasuk pada diri  legislator, kecuali ia memandang ijtihad-ijtihad mereka itu  releven dengan kebutuhan dan tuntuan kehidupan modern dan tidak kontradiks dengan hukum-hukum syariat Islam yang qoth’i ,sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan syariat ini.Dengan demikian kemungkinan kita dapat melekatkan pada hukum-hukum ijtihadiyah ini dengan predikat “ Fiqih Islami” yang  hampir nota bene  bersumber pada ra’yu (rasio)  dan ijtihad .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar